1.1
Proses
Berpikir
Berpikir merupakan suatu
aktifitas pribadi yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.
Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembetukan
pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki.
Menurut J. S.
Suryasumantri (1997:1) manusia tergolong kedalaman homosapiens yaitu makhluk
yang berpikir. Hampir tidak ada masalah yang menyangkut dengan aspek
kehidupannya yang terlepas dari jangkauan pikiran.
Berpkir merupakan ciri
utama bagi manusia untuk membedakan dengan makhluk lain. Maka dengan dasar
berpikir manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya.
Berpikir merupakan
proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. Ciri
utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Dalam arti yang luas, berpikir
adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi, seddangkan dalam arti yang sempit
berpikir adalah mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi (Puswanti,
1992:44)
Secara garis besar
berpikir dapat dibedakan menjadi dua yaitu berpikir alamiah dan berpikir
ilmiah. Dalam proses berkir alamiah, pola penalaran didasarkan pada kebiasaan
sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Disisi lain, dalam proses
berpikir ilmiah, pola penalaran didasarkan pada sasaran tertentu, secara
teratur dan sistematis.
Berpikir merupakan
sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan gerak pemikiran
dengan mengikuti jalan pemikiran tertentu agar sampai pada kesimpulan yaitu
berupa pengetahuan (Suriasumantri, 1997:1)
Oleh karena itu, proses
berpikir memerlukan sarana tertentu yang disebut sarana berpikir ilmiah. Sarana
berpikir ilmiah merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah
yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan saran tertentu
pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah, kita tidak akan dapat
melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baru.
Untuk dapat melakukan
kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa
bahasa ilmiah, logika dan matematika, logika dan statistika (TIM Dosen Filsafat
Ilmu, 1996:68)
Bahasa ilmiah merupakan
alat komunikasi perbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah.
Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan
pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain.
Logika dan matematika
mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah dikuti dan
dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran
penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum.
Sarana berpikir ilmiah
digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan
materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. Dalam mendapatkan
pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran induktif dan
deduktif. Fungsi sarana berpikir ilmiah adalah untuk mebantu proses metode
ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif.
Kemampuan berpikir
ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan saran berpikir dengan baik
pula, maka dalam proses berpikir ilmiah diharukan untuk mengetahui dengan benar
peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses
berpikir ilmiah.
Berpikir ilmiah
menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika
induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara
berpikir deduktif dan induktif.
Induksi adalah cara
berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang
bersifat individual. Penalaran ini dimulai dari kenyataan-kenyataan yang
bersifat khusus dan terbatas diakhiri dengan pernyataan pernyataan yang
bersifat umum. Seperti
Besi dipanaskan memuai
Seng dipanaskan memuai
Emas dipanaskan memuai
Timah dipanaskan memuai
Cara penalaran ini
mempunyai dua keuntungan. Pertama, kita dapat berpikir ssecara ekonomis.
Meskipun eksperimen kita terbatas pada beberapa khasus individual kita bisa
mendapatkan pengetahuan yang lebih umum tidak sekedar khasus yang menjadi dasar
pemikiran kita. Untuk mendapatkan pengetahuan bahwa semua logam memuai bila
dipanaskan, kita tidak usah membuat penyeledikan kepada setiap logam, tetapi
cukup sebagian dari padanya.
Kedua, pernyataan yang
dihasilkan melalui cara berpikir induksi tadi memungkinkan proses penalaran
selanjutnya, baik secara induktif maupun secara induktif. Secara induktif kita
dapat menyimpulkan pernyataan tadi kepada pernyataan yang lebih umum lagi.
Deduksi adalah cara
berpikir dari pernyataan yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat
khusus. Seperti
Semua logam bila dipabaskan memuai
Tembaga adalah logam
Jadi tembaga bila dipanaskan memuai
Dalam aktivitas berpikir
kita, kita tidak boleh melalaikan patokan tokoh yang oleh logika disebut asas
berpikir.
Asas sebagaimana kita
ketahui adalah pangkal atau asal dari mana sesuatu itu muncul dan dimengerti.
Maka “asas pemikiran” adalah pengetahuan dimana pengetahuan lain muncul dan
dimengerti. Kapasitas asas ini bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah
benarnya suatu pemikiran tergantung terlaksana tidaknya asas-asas ini. Ia
adalah dasar dari pada pengetahuan dan ilmu. Asas pemikiran ini dapat dibedakan
menjadi:
1.
Asas identitas (princivium
identitas)
Ia
adalah dasar dari semua pemikiran dan bahkan asas pemikiran yang lain. Kita
tidak mungkin dapat berpikir tanpa asas ini. Prinsip ini mengatakan bahwa
sesuatu itu adalah dia sendiri bukan lainnya. Perumusan akan berbunyi “bila
proposi itu benar maka benarlah ia:
2.
Asas kontradiksi (princivium
contradictoris)
Prinsip
ini mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu tidak mungkin sama dengan
pengakuannya. Jika kita mengetahui bahwa sesuatu itu bukan A maka tidak mungkin
pada saat itu ia adalah A sebab realitas itu hanya satu sebagaimana disebut
oleh asa identitas. Dengan kata lain dua kenyataan yang kontradiktoris tidak
mungkin bersama-sama secara simultan. Jika hendak kita rumuskan, akan berbunyi
“tidak ada proposisi yang sekaligus benar dan salah”
3.
Asas penolakan kemungkinana
ketiga (princivium exclusi tertii)
Asas
ini mengatakan bahwa antara pengakuan dan pengkiran, kebanarannya terletak pada
salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena
itu disamping tidak mungkin benar keduanya juga tidak mungkin salah keduanya.
Bila pernyataan dalam bentuk positifnya salah berarti ia mengungkiri
realitasnya, atau dengan kata lain realitas ini bertentangan dengan
pernyataannya. Dengan begitu maka pernyataan berbentuk ingkarlah yang benar,
karena inilah yang sesuai dengan realitas. Juga sebaliknya, jika pernyataan
ingkarnya salah, berarti ia mengingkari realitasnya, maka pernyataan positifnya
yang benar, karena ia sesuai dengan realitasnya. Pernyataan kontradiktoris
kebenarannya terdapat pada salah satunya (tidak memrlukan kemungkinan ketiga).
Jika kita rumuskan, akan berbunyi “suatu proposi selalu dalam keadaan benar
atau salah”.
1.2
Logika
Istilah logika berasal
dari kata ‘logos’ (Bahasa Yunani) yang berarti kata atau pikiran yang benar.
Jika ditinjau dari segi istilah saja, maka ilmu logika itu berarti ilmu berkata
benar atau ilmu berpikir benar (Bakry, 1981:18). Dalam kamus filsafat, logika
yang dalam bahasa inggris ‘logic’, latin ‘logica’, yunani ‘logike’ atau
‘logikos’ berarti apa yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik,
teratur, dan sistematis (Bagus, 1996:519)
Dalam pengertian lain
logika merupakan ilmu berpikir tepat yang dapat menunjukkan adanya
kekliruan-kekeliruan di dalam rantai proses berpikir. Dengan batasan itu,
logika pada hakekatnya adalah teknik berpikir. Logika mempunyai tujuan untuk
memperjelas isi suatu istilah.
Dalam arti luas logika
adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat mengisahkan secara tegas
antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah (Kusumah, 1986:2)
Logika sebagai cabang
filsafat membicarakan aturan-aturan berpikir agar dapat mengambil kesimpulan
yang benar. Menurut Lowis O. Kattsoff (11986:71) logika membicarakan
teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu,
oleh karena itu logika juga dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
penarikan kesimpulan.
Fungsi logika
diantaranya adalah untuk membedakan satu ilmu dengan yang lainnya jika objeknya
sama menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya (Kasmadi, dkk,
1990:45)
Sejak keberadaan manusia
dimuka bumi hingga sekarang, akal pikiran selalu digunakan dalam melakukan
setiap aktifitas, baik atifitas berpikir alamiah maupun berfikir kompleks.
Dalam melakaukan kegiatan berpikir seyogyanya digunakan kaidah-kaidah tertentu
yaitu berpikir yang tepat, akurat, rasional, objektif dan kritis sehingga
proses berpikir tersebut membuahkan pengetahuan yang bermanfaat bagi
kemaslahatan hidup manusia itu sendiri. Agar pengetahuan yang dihasilkan dari
peroses berpikir mempunyai dasar kebenaran, maka po=roses berpikir dilakukan
dengan cara tertentu. Cara berpikir logis dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a)
Logika induktif
dimana
cara berpikir dilakukan dengan cara menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum
dari berbagai kasus yang bersifat individual. Untuk itu, penalaran secara
induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang
yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan
pernyataan yang bersifat umum.
Penarikan
kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan
mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan
yang bersifat umum.
Misalnya,
jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di
indonesia, lantas bagaimana caranya kita mengumpulkan data sampai kepada
kesimpulan tersebut. Hal yang paling
logis adalah melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak 10 tahun
di indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan
memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di negara kita,
tetapi kegiatan ini tentu saja akan menghadapkan ikta kepada kendala tenaga,
biaya, dan waktu.
Untuk
berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal
khusus untuk sampai pada rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert
L.Searles (tim dosen filsafat ilmu,1996:91-92), di pelukan proses penalaran
sebagai berikut:
1)
Langkah pertama
Langkah
pertama adalah pengumpulan fakta-fakta khusus. Pada langkah ini, metode yang
digunakan adalah observasi dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti
mungkin, sedangkan eksperimen dilakukan untuk membuat atau mengganti obyek yang
harus dipelajari.
2)
Langkah kedua
Langkah
kedua adalah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil atau jawaban
sementara yang diajukan berdasarkan pen getahuan yang terkumpul sebagai
petunjuk bagi penelitian lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat,
diantaranya dapat diuji kebenarannya,terbuka dan sistematis sesuai dalil-dalil
yang dianggap benar serta dapat menjelaskan fakta-fakta yang dijadikan fokus
kajian
3)
Langkah ketiga
Langkah
ketiga adalah mengadakan verifikasi. Hipotesis merupakan perumusan dalil atau
jawaban sementara yang harus dibuktikan atau diterakan terhadap fakta-fakta
atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan
umum.
Proses
verifikasi adalah satu langkah atau cara untuk membuktikan bahwa hipotesis
tersebut merupakan dalil yang sebenarnya.verifikasi juga mencakup generalisasi
untuk menemukan dalil umum, sehingga hipotesis tersebut dapat dijadikan satu
teori.
4)
Langkah keempat
Langkah
keempat adalah perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan hasil verifikasi.
Hasil akhir yang diharapkan dalam induksi ilimiah adalah terbentuknya hukum
ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu
dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal yang diamati,
atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan
berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk
diterapkan bagi semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya
dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
b)
Logika deduktif
Logika
deduktif yaitu suatu cara berpikir dimana pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulann secara deduktif biasanya
mempergunakan pola berpikir silogismus yang secara sederhana digambarkan
sebagai penyusunan dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang
mendukung silogismus disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai
premis mayor dan premis minor.
Kesimpulan
merupakan pengetahuan yang didapat dari penaralan deduktif berdasarkan kedua
premis tersebut (Suria Sumantri, 1998:48-49). Dengan kata lain, penalaran
deduktif adalah kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari penalaran
induktif.
Contoh
penarikan kesimpulan berdasarkan penalaran deduktif adalah semua makhluk hidup
perlu makan untuk mempertahankan hidup (premis mayor). Joko adalah seorang
makhluk hidup (premis minor) jadi, joko perlu makan untuk mempertahankan
hidupnya (kesimpulan).
Kesimpulan
yang diambil bahwa joko juga perlu makan untuk mempertahankan hidupnya adalah
sah menurut penalaran dedduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari
dua premis yang mendukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan ini benar harus
dikembalikan kepada kebenaran premis-premis yang mendahuluinya.
Apabila
kedua premis yang mendukungnya benar. Mungkin saja kemungkinan itu salah,
meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya tidak
sah. Ketapatan kesimpulan bergantung atas tiga hal yaitu kebenaran premis
mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan.
1.3
Bahasa,
ilmu bahasa, dan logika berpikir
Telah menjadi
pengetahuan umum bahwa bahasa merupakan sesuatu yang tidak terpisah dari aspek
kehidupan manusia. Hal tersebut juga berlaku pada aspek ilmu pengetahuan,
khususnya pengetahuan filsafat. Seorang pemikir atau filosof senantiasa
bergantung pada bahasa untuk menyampaikan gagasan atau buah pikirannya kepada
orang lain (Hidayat, 2006:1).
Di samping itu, tugas
utama filsafat adalah menemukan makna dibalik simbol-simbol yang ada di alam
semesta atau dallam kehidupan manusia. Maka, dalam konteks ini filsafat
membutuhkan bahasa untuk membongkar, memahami, dan menyampaikan makna
simbol-simbol tersebut.
Berangkat dari
signifikansi bahasa dalam ilmu filsafat di atas, perlu kiranya diulas singkat
hakikat bahasa. Rumusan mengenai hakikat bahasa telah ramai dibicarakan para
ahli. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa bahasa merupakan sistem, lambang
arbitrer yang digunakan masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam
kehidupan sehari-hari (Kridaklaksana dalam Hidayat, 2006:22)
Senada dengan pendapat
tersebut, Bloch, Trager, Wardhaug menggarisbawahi kata “lambang”, “bunyi”, dan
“bermakna” sebagai karakteristik hakekat bahasa. Dengan kata lain, yang disebut
sebagai bahasa adalah suatu lambang yang berbentuk bunyi yang memiliki makna
sebagai media penyampaian pesan dan alat komunikasi antar manusia.
Meskipun bahasa
diibaratkan seperti urat nadi dalam kehidupan manusia atau denga kata lain
menjadi sesuatu yang tak terpisahkan, namun bahasa tetap memerlukan payung
akademis agar dapat dikembangkan sebagai sebuah disiplin ilmu.
Dewasa ini, dengan
semakin banyaknya ilmuwan yang menyertakan bahasa ke dalam kajian-kajian
formal, maka ilmu bahasa bergerak menuju tingkat kemapanan akademis yang lebih
tinggi.
The new oxford
dictionary of english (2003) mendefinisikan linguistik sebagai scientific study
of language and it structure, including the study of grammar, syntax, and
phonetics. Specific branches of linguistics incluide socialinguistic,
dialegtology, pscholimguistics, computational linguistics, comparative
linguistics, and structural lingusitics.
Ilmu bahasa atau yang
tepopuler disebut linguistic memusatkan perhatian setidaknya pada dua hal:
a)
Mengkaji suatu bahasa tertentu
untuk kepentingan bahasa itu sendiri dan
b)
Mengkaji bahasa sebagai sarana
uuntuk mengkaji hal-hal di luar bahasa atau untuk memenuhi kepentingan di luar
bahasa.
Fokus yang pertama untuk
menghasilkan deskripsi yang akurat dan lengkap mengenai bahasa itu sendiri,
sedangkan yang kedua dilakukan untuk mendapatkan informasi yang mengenai
proses-proses alamiah bahasa secara umum.
Linguistic merupakan
kajian bahasa melalui langkah atau proses ilmiah kata “ilmiah” dan “bahasa”
perlu digaris bawahi sebagai kata kunci. Terdapat perbedaan mendasar antara
kajian linguistic tradisional atau masa lampau dan modern. Perbedaan tersebut
ada pada unsur keilmiahan. Apa yang dianggap ilmiah adalah jika kajian bahasa
dilakukan dengan pengamatan atau observasi terlebih dahulu sebelum merumuskan
hipotesa yang kemudian difestigasi melalui eksperimen.
Langkah-langkah tersebut
dilakukan secara sistematis untuk menghasilkan sebuah teori yang akurat standar
dan proses ilmiah tersebut juga berlaku pada disiplin ilmu lain.
Bahasa merupakan
realitas kompleks yang berdasar pada dua aspek “aspek fungsional dan aspek
formal.” Secara fungsional, bahasa merupakan bentuk komunikasi manusia.
Berkomunikasi adalah mentransfer informasi (pesan, ide, dan lain-lain) dari
pengirim ke penrima. Informasi bisa berbentuk rangkaian bunyi yang sarat makna
atau teks tulis. Yang perlu digarisbawahi disini, bahwa proses komunikasi dalam
konteks ini adalah yang melibatkan komponen visual, vokal, dan auditori yang
dimiliki oleh manusia, dan bukan yang berbentuk olah tubuh, mimikri, ekpresi
wajah, dan lain-laian).
Jadi lambaian tangan,
dehem, batuk, tepuk tangan, dan serupa tidak termasuk dalam bahasa meskipun
bentuk-bentuk ekpresi tersebut mengandung pesan atau makna linguistik. Sejarah
perkembangan ilmu bahasa di awali dengan kelahiran aliran tata bahasa
tradisional ketika para filsuf melneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan
apa hakikat bahasa.
Manusia hidup dalam
tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan,
kedokteran, kesehatan, geografi dan sebagainya. Salah satu ahli bahasa bernama
Dionysius Thrax (akhir abad 2 SM) merupakan orang pertama berhasil membuat
aturan tata bahasa secara sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia,
participle, pronomena, dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah
dibuat oleh kaum stoic.
Pada perkembangan
selanjutnya, ilmu bahasa bergerak maju. Masa tersebut populer disebut
linguistik modern, yang terbagi ke dalam dua masa yaitu linguistic abad 19 dan
abad 20.
Ciri yang menonjol dari
linguistic abad 19 adalah historis komparatis sebagai bidang utama penelitian.
Yang diteliti tentu saja adalah hubungan kekerabatan antar bahasa-bahasa di
dunia dan unsur bahasa yang diteliti tidak dihubungkan dengan unsur lainnya,
misalnya penelitian tentang kata tida dihubungkan dengan frase atau kalimat
(pola penelitiannya bersifat parsial)
Sedangkan ciri khas
perkembangan linguistik abad 20 adalah pendekatan penelitian yang bersifat
strukturalistis (akhir abada 20 lebih bersifat fungsionalis), pengelompokan
tatabahasa berdasarkan atas mikrolinguistik, makrolinguistik, dan sejarah
lingustic, perkembangan pesat penelitiaan antar disiplin, dan prinsip
penelitiannya yang deskriptif dan sinkronik.
Dari corak perkembangan
disiplin ilmu linguistik di atas dapat diperoleh gambaran bahwa pola berpikir
yang digunakan cenderuung mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal tersebut
dapat dilihat pada corak perkembangan lingustik abad 19 yang memfokuskan kajian
dan penelitian pada bahasa-bahasa berkerabat untuk membuktikan adanya relasi
storis bahasa-bahasa tersebut.
Pada proses ini, ilmuwan
bahasa melakukan langkah atau prosedur ilmiah dengan merumuskan hipotesa,
membuktikan rumusan hipotesa tersebut dengan berbagai epidensi lingusitic.
Dengan kata lain, para
ahli bahasa mengajukan satu asumsi atau hipotesa adanya kekerabatan antar
kelompok bahasa, untuk membuktikan kebenarannya efidensil linguistik seperti
bukti kemiripan fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikon dan latar
belakang historis digunakan sebagai bahan analisis sebagai upaya pembuktian
hipotesa.
Jika kemiripan sturktur
bahasa tersebut berbanding lurus dengan relasi historis yang dimiliki
sekelompok bahasa tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sekolompok
bahasa tersebut berkerabat dan berasal dari satu induk bahasa yang sama. Dari
langkah ilmiah tgersebut, dapat diamati bahwa ilmu bahasa pada masa itu cenderung
memakai pola penaralan induktif.
Perkembangan linguistic
abad 20 memiliki corak yang sedikit berbeda. Ilmuwan abad sembilan belas telah
bekerja keras, mempormulasikan teori-teori baru dari beragam fenomena bahasa.
Jika pada abad sebelumnya, ilmu bahasa diramaikan oleh kajian diakronis maka
abad 20 diwarnai oleh penelitian bergenre sinkronik. Dimana struktur internal
bahasa menjadi titik tolak pengembangan ilmu bahasa.
Dari realitas tersebut,
dapat diamati bahwa logika berpikir yang berkembang adalah logika penalaran
deduktif, meski tidak dapat dipungkiri penalaran deduktif masih digunakan.
Dari berbagai seputar
bahasa, ilmu bahasa, logika ilmu berpikir yang digunakan dapat disimpulkan
bahwa dua ragam logika berpikir yaitu deduktif dan induktif tidak dapat
dipisahkan dari kegiatan ilmiah sebuah disiplin ilmu, meskipun keduanya
memiliki pola yang berbeda. Dapat dijumpai penggabungan kedua logika berpikir
tersebut dalam satu proses ilmiah. Hal ini dianggap sah dan wajar dalam
dinamika berpikir dan dialectika ilmu pengetahauan.
Sumber:
Keraf,
Gorys. 1994. Komposisi. Jakarta: Nusa
Indah.
Mundiri. 2005. Logika. Jakarta: Raja Grafindo persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar