Jumat, 31 Mei 2013

LOGIKA: Definisi logika dalam bahasa


 1.1  Proses Berpikir

Berpikir merupakan suatu aktifitas pribadi yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembetukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki.

Menurut J. S. Suryasumantri (1997:1) manusia tergolong kedalaman homosapiens yaitu makhluk yang berpikir. Hampir tidak ada masalah yang menyangkut dengan aspek kehidupannya yang terlepas dari jangkauan pikiran.

Berpkir merupakan ciri utama bagi manusia untuk membedakan dengan makhluk lain. Maka dengan dasar berpikir manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya.

Berpikir merupakan proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. Ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Dalam arti yang luas, berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi, seddangkan dalam arti yang sempit berpikir adalah mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi (Puswanti, 1992:44)

Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua yaitu berpikir alamiah dan berpikir ilmiah. Dalam proses berkir alamiah, pola penalaran didasarkan pada kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Disisi lain, dalam proses berpikir ilmiah, pola penalaran didasarkan pada sasaran tertentu, secara teratur dan sistematis.

Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan gerak pemikiran dengan mengikuti jalan pemikiran tertentu agar sampai pada kesimpulan yaitu berupa pengetahuan (Suriasumantri, 1997:1)
Oleh karena itu, proses berpikir memerlukan sarana tertentu yang disebut sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan saran tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah, kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baru.

Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa bahasa ilmiah, logika dan matematika, logika dan statistika (TIM Dosen Filsafat Ilmu, 1996:68)

Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi perbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain.

Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah dikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum.

Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran induktif dan deduktif. Fungsi sarana berpikir ilmiah adalah untuk mebantu proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif.

Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan saran berpikir dengan baik pula, maka dalam proses berpikir ilmiah diharukan untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah.

Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.

Induksi adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Penalaran ini dimulai dari kenyataan-kenyataan yang bersifat khusus dan terbatas diakhiri dengan pernyataan pernyataan yang bersifat umum. Seperti
            Besi dipanaskan memuai
            Seng dipanaskan memuai
            Emas dipanaskan memuai
            Timah dipanaskan memuai

Cara penalaran ini mempunyai dua keuntungan. Pertama, kita dapat berpikir ssecara ekonomis. Meskipun eksperimen kita terbatas pada beberapa khasus individual kita bisa mendapatkan pengetahuan yang lebih umum tidak sekedar khasus yang menjadi dasar pemikiran kita. Untuk mendapatkan pengetahuan bahwa semua logam memuai bila dipanaskan, kita tidak usah membuat penyeledikan kepada setiap logam, tetapi cukup sebagian dari padanya.

Kedua, pernyataan yang dihasilkan melalui cara berpikir induksi tadi memungkinkan proses penalaran selanjutnya, baik secara induktif maupun secara induktif. Secara induktif kita dapat menyimpulkan pernyataan tadi kepada pernyataan yang lebih umum lagi.

Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus. Seperti
            Semua logam bila dipabaskan memuai
            Tembaga adalah logam
            Jadi tembaga bila dipanaskan memuai

Dalam aktivitas berpikir kita, kita tidak boleh melalaikan patokan tokoh yang oleh logika disebut asas berpikir.

Asas sebagaimana kita ketahui adalah pangkal atau asal dari mana sesuatu itu muncul dan dimengerti. Maka “asas pemikiran” adalah pengetahuan dimana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Kapasitas asas ini bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah benarnya suatu pemikiran tergantung terlaksana tidaknya asas-asas ini. Ia adalah dasar dari pada pengetahuan dan ilmu. Asas pemikiran ini dapat dibedakan menjadi:
1.      Asas identitas (princivium identitas)
Ia adalah dasar dari semua pemikiran dan bahkan asas pemikiran yang lain. Kita tidak mungkin dapat berpikir tanpa asas ini. Prinsip ini mengatakan bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri bukan lainnya. Perumusan akan berbunyi “bila proposi itu benar maka benarlah ia:

2.      Asas kontradiksi (princivium contradictoris)
Prinsip ini mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu tidak mungkin sama dengan pengakuannya. Jika kita mengetahui bahwa sesuatu itu bukan A maka tidak mungkin pada saat itu ia adalah A sebab realitas itu hanya satu sebagaimana disebut oleh asa identitas. Dengan kata lain dua kenyataan yang kontradiktoris tidak mungkin bersama-sama secara simultan. Jika hendak kita rumuskan, akan berbunyi “tidak ada proposisi yang sekaligus benar dan salah”

3.      Asas penolakan kemungkinana ketiga (princivium exclusi tertii)
Asas ini mengatakan bahwa antara pengakuan dan pengkiran, kebanarannya terletak pada salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu disamping tidak mungkin benar keduanya juga tidak mungkin salah keduanya. Bila pernyataan dalam bentuk positifnya salah berarti ia mengungkiri realitasnya, atau dengan kata lain realitas ini bertentangan dengan pernyataannya. Dengan begitu maka pernyataan berbentuk ingkarlah yang benar, karena inilah yang sesuai dengan realitas. Juga sebaliknya, jika pernyataan ingkarnya salah, berarti ia mengingkari realitasnya, maka pernyataan positifnya yang benar, karena ia sesuai dengan realitasnya. Pernyataan kontradiktoris kebenarannya terdapat pada salah satunya (tidak memrlukan kemungkinan ketiga). Jika kita rumuskan, akan berbunyi “suatu proposi selalu dalam keadaan benar atau salah”.

1.2  Logika

Istilah logika berasal dari kata ‘logos’ (Bahasa Yunani) yang berarti kata atau pikiran yang benar. Jika ditinjau dari segi istilah saja, maka ilmu logika itu berarti ilmu berkata benar atau ilmu berpikir benar (Bakry, 1981:18). Dalam kamus filsafat, logika yang dalam bahasa inggris ‘logic’, latin ‘logica’, yunani ‘logike’ atau ‘logikos’ berarti apa yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, dan sistematis (Bagus, 1996:519)

Dalam pengertian lain logika merupakan ilmu berpikir tepat yang dapat menunjukkan adanya kekliruan-kekeliruan di dalam rantai proses berpikir. Dengan batasan itu, logika pada hakekatnya adalah teknik berpikir. Logika mempunyai tujuan untuk memperjelas isi suatu istilah.

Dalam arti luas logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat mengisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah (Kusumah, 1986:2)

Logika sebagai cabang filsafat membicarakan aturan-aturan berpikir agar dapat mengambil kesimpulan yang benar. Menurut Lowis O. Kattsoff (11986:71) logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu, oleh karena itu logika juga dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan kesimpulan.

Fungsi logika diantaranya adalah untuk membedakan satu ilmu dengan yang lainnya jika objeknya sama menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya (Kasmadi, dkk, 1990:45)

Sejak keberadaan manusia dimuka bumi hingga sekarang, akal pikiran selalu digunakan dalam melakukan setiap aktifitas, baik atifitas berpikir alamiah maupun berfikir kompleks. Dalam melakaukan kegiatan berpikir seyogyanya digunakan kaidah-kaidah tertentu yaitu berpikir yang tepat, akurat, rasional, objektif dan kritis sehingga proses berpikir tersebut membuahkan pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri. Agar pengetahuan yang dihasilkan dari peroses berpikir mempunyai dasar kebenaran, maka po=roses berpikir dilakukan dengan cara tertentu. Cara berpikir logis dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a)     Logika induktif
dimana cara berpikir dilakukan dengan cara menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Untuk itu, penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.

Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum.

Misalnya, jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di indonesia, lantas bagaimana caranya kita mengumpulkan data sampai kepada kesimpulan  tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak 10 tahun di indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di negara kita, tetapi kegiatan ini tentu saja akan menghadapkan ikta kepada kendala tenaga, biaya, dan waktu.

Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles (tim dosen filsafat ilmu,1996:91-92), di pelukan proses penalaran sebagai berikut:

1)      Langkah pertama
Langkah pertama adalah pengumpulan fakta-fakta khusus. Pada langkah ini, metode yang digunakan adalah observasi dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, sedangkan eksperimen dilakukan untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari.

2)      Langkah kedua
Langkah kedua adalah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil atau jawaban sementara yang diajukan berdasarkan pen getahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat, diantaranya dapat diuji kebenarannya,terbuka dan sistematis sesuai dalil-dalil yang dianggap benar serta dapat menjelaskan fakta-fakta yang dijadikan fokus kajian

3)      Langkah ketiga
Langkah ketiga adalah mengadakan verifikasi. Hipotesis merupakan perumusan dalil atau jawaban sementara yang harus dibuktikan atau diterakan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum.

Proses verifikasi adalah satu langkah atau cara untuk membuktikan bahwa hipotesis tersebut merupakan dalil yang sebenarnya.verifikasi juga mencakup generalisasi untuk menemukan dalil umum, sehingga hipotesis tersebut dapat dijadikan satu teori.
4)      Langkah keempat
Langkah keempat adalah perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan hasil verifikasi. Hasil akhir yang diharapkan dalam induksi ilimiah adalah terbentuknya hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal yang diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagi semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.

b)      Logika deduktif
Logika deduktif yaitu suatu cara berpikir dimana pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulann secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir silogismus yang secara sederhana digambarkan sebagai penyusunan dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor.

Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penaralan deduktif berdasarkan kedua premis tersebut (Suria Sumantri, 1998:48-49). Dengan kata lain, penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari penalaran induktif.

Contoh penarikan kesimpulan berdasarkan penalaran deduktif adalah semua makhluk hidup perlu makan untuk mempertahankan hidup (premis mayor). Joko adalah seorang makhluk hidup (premis minor) jadi, joko perlu makan untuk mempertahankan hidupnya (kesimpulan).
 
Kesimpulan yang diambil bahwa joko juga perlu makan untuk mempertahankan hidupnya adalah sah menurut penalaran dedduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan ini benar harus dikembalikan kepada kebenaran premis-premis yang mendahuluinya.

Apabila kedua premis yang mendukungnya benar. Mungkin saja kemungkinan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya tidak sah. Ketapatan kesimpulan bergantung atas tiga hal yaitu kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan.

1.3  Bahasa, ilmu bahasa, dan logika berpikir

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa bahasa merupakan sesuatu yang tidak terpisah dari aspek kehidupan manusia. Hal tersebut juga berlaku pada aspek ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan filsafat. Seorang pemikir atau filosof senantiasa bergantung pada bahasa untuk menyampaikan gagasan atau buah pikirannya kepada orang lain (Hidayat, 2006:1).

Di samping itu, tugas utama filsafat adalah menemukan makna dibalik simbol-simbol yang ada di alam semesta atau dallam kehidupan manusia. Maka, dalam konteks ini filsafat membutuhkan bahasa untuk membongkar, memahami, dan menyampaikan makna simbol-simbol tersebut.

Berangkat dari signifikansi bahasa dalam ilmu filsafat di atas, perlu kiranya diulas singkat hakikat bahasa. Rumusan mengenai hakikat bahasa telah ramai dibicarakan para ahli. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa bahasa merupakan sistem, lambang arbitrer yang digunakan masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari (Kridaklaksana dalam Hidayat, 2006:22)

Senada dengan pendapat tersebut, Bloch, Trager, Wardhaug menggarisbawahi kata “lambang”, “bunyi”, dan “bermakna” sebagai karakteristik hakekat bahasa. Dengan kata lain, yang disebut sebagai bahasa adalah suatu lambang yang berbentuk bunyi yang memiliki makna sebagai media penyampaian pesan dan alat komunikasi antar manusia.

Meskipun bahasa diibaratkan seperti urat nadi dalam kehidupan manusia atau denga kata lain menjadi sesuatu yang tak terpisahkan, namun bahasa tetap memerlukan payung akademis agar dapat dikembangkan sebagai sebuah disiplin ilmu.

Dewasa ini, dengan semakin banyaknya ilmuwan yang menyertakan bahasa ke dalam kajian-kajian formal, maka ilmu bahasa bergerak menuju tingkat kemapanan akademis yang lebih tinggi.

The new oxford dictionary of english (2003) mendefinisikan linguistik sebagai scientific study of language and it structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics incluide socialinguistic, dialegtology, pscholimguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural lingusitics.

Ilmu bahasa atau yang tepopuler disebut linguistic memusatkan perhatian setidaknya pada dua hal:
a)      Mengkaji suatu bahasa tertentu untuk kepentingan bahasa itu sendiri dan
b)      Mengkaji bahasa sebagai sarana uuntuk mengkaji hal-hal di luar bahasa atau untuk memenuhi kepentingan di luar bahasa.

Fokus yang pertama untuk menghasilkan deskripsi yang akurat dan lengkap mengenai bahasa itu sendiri, sedangkan yang kedua dilakukan untuk mendapatkan informasi yang mengenai proses-proses alamiah bahasa secara umum.

Linguistic merupakan kajian bahasa melalui langkah atau proses ilmiah kata “ilmiah” dan “bahasa” perlu digaris bawahi sebagai kata kunci. Terdapat perbedaan mendasar antara kajian linguistic tradisional atau masa lampau dan modern. Perbedaan tersebut ada pada unsur keilmiahan. Apa yang dianggap ilmiah adalah jika kajian bahasa dilakukan dengan pengamatan atau observasi terlebih dahulu sebelum merumuskan hipotesa yang kemudian difestigasi melalui eksperimen.

Langkah-langkah tersebut dilakukan secara sistematis untuk menghasilkan sebuah teori yang akurat standar dan proses ilmiah tersebut juga berlaku pada disiplin ilmu lain.

Bahasa merupakan realitas kompleks yang berdasar pada dua aspek “aspek fungsional dan aspek formal.” Secara fungsional, bahasa merupakan bentuk komunikasi manusia. Berkomunikasi adalah mentransfer informasi (pesan, ide, dan lain-lain) dari pengirim ke penrima. Informasi bisa berbentuk rangkaian bunyi yang sarat makna atau teks tulis. Yang perlu digarisbawahi disini, bahwa proses komunikasi dalam konteks ini adalah yang melibatkan komponen visual, vokal, dan auditori yang dimiliki oleh manusia, dan bukan yang berbentuk olah tubuh, mimikri, ekpresi wajah, dan lain-laian).

Jadi lambaian tangan, dehem, batuk, tepuk tangan, dan serupa tidak termasuk dalam bahasa meskipun bentuk-bentuk ekpresi tersebut mengandung pesan atau makna linguistik. Sejarah perkembangan ilmu bahasa di awali dengan kelahiran aliran tata bahasa tradisional ketika para filsuf melneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa.

Manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi dan sebagainya. Salah satu ahli bahasa bernama Dionysius Thrax (akhir abad 2 SM) merupakan orang pertama berhasil membuat aturan tata bahasa secara sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia, participle, pronomena, dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibuat oleh kaum stoic.

Pada perkembangan selanjutnya, ilmu bahasa bergerak maju. Masa tersebut populer disebut linguistik modern, yang terbagi ke dalam dua masa yaitu linguistic abad 19 dan abad 20.

Ciri yang menonjol dari linguistic abad 19 adalah historis komparatis sebagai bidang utama penelitian. Yang diteliti tentu saja adalah hubungan kekerabatan antar bahasa-bahasa di dunia dan unsur bahasa yang diteliti tidak dihubungkan dengan unsur lainnya, misalnya penelitian tentang kata tida dihubungkan dengan frase atau kalimat (pola penelitiannya bersifat parsial)

Sedangkan ciri khas perkembangan linguistik abad 20 adalah pendekatan penelitian yang bersifat strukturalistis (akhir abada 20 lebih bersifat fungsionalis), pengelompokan tatabahasa berdasarkan atas mikrolinguistik, makrolinguistik, dan sejarah lingustic, perkembangan pesat penelitiaan antar disiplin, dan prinsip penelitiannya yang deskriptif dan sinkronik.

Dari corak perkembangan disiplin ilmu linguistik di atas dapat diperoleh gambaran bahwa pola berpikir yang digunakan cenderuung mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal tersebut dapat dilihat pada corak perkembangan lingustik abad 19 yang memfokuskan kajian dan penelitian pada bahasa-bahasa berkerabat untuk membuktikan adanya relasi storis bahasa-bahasa tersebut.

Pada proses ini, ilmuwan bahasa melakukan langkah atau prosedur ilmiah dengan merumuskan hipotesa, membuktikan rumusan hipotesa tersebut dengan berbagai epidensi lingusitic.

Dengan kata lain, para ahli bahasa mengajukan satu asumsi atau hipotesa adanya kekerabatan antar kelompok bahasa, untuk membuktikan kebenarannya efidensil linguistik seperti bukti kemiripan fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikon dan latar belakang historis digunakan sebagai bahan analisis sebagai upaya pembuktian hipotesa.

Jika kemiripan sturktur bahasa tersebut berbanding lurus dengan relasi historis yang dimiliki sekelompok bahasa tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sekolompok bahasa tersebut berkerabat dan berasal dari satu induk bahasa yang sama. Dari langkah ilmiah tgersebut, dapat diamati bahwa ilmu bahasa pada masa itu cenderung memakai pola penaralan induktif.

Perkembangan linguistic abad 20 memiliki corak yang sedikit berbeda. Ilmuwan abad sembilan belas telah bekerja keras, mempormulasikan teori-teori baru dari beragam fenomena bahasa. Jika pada abad sebelumnya, ilmu bahasa diramaikan oleh kajian diakronis maka abad 20 diwarnai oleh penelitian bergenre sinkronik. Dimana struktur internal bahasa menjadi titik tolak pengembangan ilmu bahasa.

Dari realitas tersebut, dapat diamati bahwa logika berpikir yang berkembang adalah logika penalaran deduktif, meski tidak dapat dipungkiri penalaran deduktif masih digunakan.

Dari berbagai seputar bahasa, ilmu bahasa, logika ilmu berpikir yang digunakan dapat disimpulkan bahwa dua ragam logika berpikir yaitu deduktif dan induktif tidak dapat dipisahkan dari kegiatan ilmiah sebuah disiplin ilmu, meskipun keduanya memiliki pola yang berbeda. Dapat dijumpai penggabungan kedua logika berpikir tersebut dalam satu proses ilmiah. Hal ini dianggap sah dan wajar dalam dinamika berpikir dan dialectika ilmu pengetahauan.

Sumber:
Keraf, Gorys. 1994. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.
Mundiri. 2005. Logika. Jakarta: Raja Grafindo persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar