PERAN
PENGAJARAN FORMAL
PADA PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
Efek pengajaran formal yang mengarah pada
pemerolehan bahasa kedua
Pengarahan pemerolehan
bahasa kedua betul-betul dipertimbangkan dalam hubungan rangkaian umum
pengembangan dan tata tertib dalam ciri-ciri pokok tatabahasa yang
diperoleh. Bukti untuk dilaporkan secara menyeluruh tentang tata urutan dan
perbedaan kecil dalam urutan yang datang dari : (1) pelajaran morfem dan (2)
pelajaran longitudinal. Pembahasan ini merupakan bentuk asli pemerolehan bahasa
kedua secara alami dan juga secara campuran (antara lain jika terdapat ekspose
alami dan pengajaran. Bab ini kini akan mempertimbangkan pelajaran yang serupa
mengenai kelas pemerolehan bahasa kedua. Namun, karena terdapat pandangan
relatif mengenai pelajaran, kesimpulan yang dapat digambarkan tentunya akan
tentatif. Pelajaran morfem dan longitudinal akan dibahas secara terpisah.
Studi morfem dari kelas pemerolehan bahasa kedua
Studi morfem dapat digolongkan dalam dua kelompok.
Pertama adalah lima studi yang menyelidiki pelajar bahasa kedua. Kelompok yang
lain adalah empat studi yang menyelidiki pelajar bahasa asing.
Tiga studi mengenai pelajar bahasa kedua menemukan
morfem yang sama dalam kelas pemerolehan bahasa kedua seperti dalam pemerolehan
bahasa kedua secara alami. Fathman (1975) menggunakan uji produksi lisan untuk
menilai pengetahuan tatabahasa dari dua ratus anak usia 6 hingga 15 tahun dari
latar belakang yang berbeda-beda. Beberapa anak yang menerima pengajaran
bahasa, sementara yang lainnya dalam kelas. Fathman menemukan korelasi yang
sangat signifikan antara morfem dari dua kelompok pelajar dan menyimpulkan
bahwa pesan yang didapatnya adalah konstan, tanpa tergantung dengan pengajaran.
Perkin dan Larsen Freeman (1975) menyelidiki pesan morfem dari duabelas
mahasiswa Universitas Venezuela setelah mereka menjalani dua bulan pengajaran
bahasa setelah tiba di Amerika Serikat. Mereka menggunakan dua buah tugas dalam
mengumpulkan data : (1) test terjemahan, dan (2) tugas deskripsi berdasarkan
film non-dialog. Pada (1) pesan morfem sebelum dan setelah pengajaran berbeda
secara signifikan, namun pada (2) tidak ada perbedaan signifikan. Peneliti
menyimpulkan bahwa dimana spontanitas berujar terlibat, pengajaran formal tidak
mempengaruhi perkembangan. Turner (1978) menyelidiki tiga pelajar bahasa kedua
dan menemukan bahwa pesan pengajaran dari suatu set tatabahasa morfem tidak
berkorelasi tinggi dengan pesan yang mereka dapatkan. Dengan kata lain, pesan
pengajaran dan pembelajaran ternyata berbeda. Diambil secara bersama, pelajaran
ini memberi kesan tapi tidak membuktikan pengajaran formal tidak mengubah pesan
kemahiran morfem tatabahasa saat pelajar sibuk dalam menggunakan bahasa terfokus
pada arti dari bahasa tersebut
Kedua studi lain mengenai pelajar bahasa kedua
memberi kesan bahwa pengajaran dapat memiliki efek pada pesan morfem, meskipun
efek itu relatif kecil dan tidak kekal. Lightbown dkk. (1980) menyelidiki
performan dari 175 mahasiswa Perancis penutur bahasa Inggris berdasarkan (1)
test penilaian secara tatabahasa, dan (2) pertanyaan komunikasi melibatkan
deskripsi gambar. Mereka menemukan bahwa nilai pada (1) hasilnya meningkat
sesuai hasil pengajaran, tapi dari nilai secara umum kemudian menurun (antara
lain, setelah mahasiswa tidak lagi menerima pengajaran pada bagian tatabahasa
yang diujikan). Pada (2) mereka menemukan bahwa pesan dari berbagai morfem kata
benda dan kata kerja berbeda dari pesan ‘secara alami’. Hal ini terjadi karena
mahasiswa jelek dalam hal bentuk jamak dibanding morfem kata kerja, kemungkinan
karena efek dari bahasa pertamanya (antara lain, dalam bahasa Perancis bentuk
akhir jamak ‘-s’ terjadi hanya pada tulisan). Bagaimanapun, saat morfem kata
kerja dan kata benda betul-betul dipertimbangkan secara terpisah, pesan yang
sesuai terjadi secara alamiah. Pada studi berikutnya, Lighbown (1983)
menemukan bahwa pada kelompok mahasiswa yang sama pada studi pertama
‘overlearnt’ pada penempatan ‘-ing’ kata kerja pada tahap tingkat pengembangan
mereka. Lighbown memberi kesan bahwa hal ini sebagai hasil dari latihan formal
secara intensif mengenai morfem ini pada tahap terlalu awal dan latihan yang
terkonsentrasi tinggi dapat menunda efek. Meskipun, mahasiswa tidak menggunakan
‘-ing’ secara tepat, namun mengulur-ngulur penggunaan pada kontek yang
membutuhkan morfem orang ketiga ‘-s’. kemudian, frekwensi ‘-ing’ menurun
sejalan dengan mahasiswa yang menyortir masing-masing penggunaan ‘-s’ dam
‘=ing’. Sekali lagi, karenanya, kekacauan pada pesan alami membuktikan hanya
bersifat sementara.
Salah satu masalah dari keseluruhan lima kelas
studi morfem tentang pelajar bahasa kedua adalah bahwa pelajar yang telah
menerima pengajaran lingkungan dimana hal itu memungkinkan bagi mereka untuk
mengekpose bahasa kedua diluar kelas. Dengan kata lain, studi mungkin tidak
menyentuh efek pembelajaran kelas. Pica (1983) menyebutkan sejumlah studi
seperti halnya ekspose tersebut mungkin lebih sedikit telah mengacaukan
variabel. Fathman (1978) membandingkan apa yang ia sebut sebagai ‘pesan sukar’
dari pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di kelas di Jerman dimana
bahasa Inggris sebagai bahasa kedua untuk sekolah di Amerika Serikat. Pada
kasus terdahulu, pengajaran telah memberikan kecocokan pada dua kriteria yang
telah disebutkan : yaitu, yang terstruktur dan yang membutuhkan pemusatan pada
bentuk. Pada kasus kemudian, pengajaran formal mini telah diperkenalkan.
Meskipun demikian, Fathman melaporkan hubungan positif dalam pesan yang dihasilkan
oleh dua kelompok pelajar, meskipun ia tidak mengidentifikasi jumlah perbedaan
minornya.
Studi kedua kelas murni yang mempelajari pandangan
Pica tersebut adalah sebagaimana menurut Makino (1979). Makino menyelidiki
sembilan morfem yang dihasilkan dalam ujian tulis 777 subjek pembelajaran
bahasa Inggris sebagai bahasa asing di sekolah sekunder Jepang. Hasilnya
menunjukkan bahwa pesan morfem yang dihasilkan berkorelasi signifikan dengan
pesan yang dilaporkan oleh Dulay dan Burt dan oleh peneliti morfem lainnya
(Hakuta 1974 adalah pengecualian).
Studi ketiga yang meneliti pandangan Pica adalah
Sajavaara (1981a). ia mengumpulkan cara berujar secara spontan dari pelajar
berbahasa Finlandia yang belajar bahasa Inggris dan menemukan suatu gangguan
pesan.. satu dari perbedaan utama adalah didakam memposisikan rangking suatu
tulisan. Pica mencatat bahwa sisten tulisan bahasa Finlandia dan bahasa Jepang
berbeda dari bahasa Inggris, tapi hanya pelajar bahasa Finlandia dalam studi
Sajaavara berbeda seara alami.
Pica melaksanakan studinya mengenai efek
pengajaran terhadap pesan morfem. Ia membandingkan enam pelajar bahasa Inggris
sebagai bahasa asing yang menerima pengajaran formal di Mexico City baik pada
kelompok pelajar alami, maupun pelajar campuran (sebagai contoh, seseorang
menerima ekspose dan juga pengajaran) di Philadelphia. Pica memandang pada
delapan morfem dan menemukan korelasi signifikan diantara tiga kelompok dan
dengan pesan alami Krashen.
Pembahasan sembilan morfem tersebut diringkas
dalam tabel 9.1. Kesimpulan apa yang dapat digambarkan? Secara umum
pengajaran formal tidak tampak memiliki efek terhadap pesan morfem yang
dilaporkan untuk alami atau campuran pemerolehan bahasa kedua. Hanya saat data
yang digunakan untuk menghitung pesan morfem secara ketat dimonitor (seperti
dalam melakukan studi oleh Perkin dan Larsen-Freeman, misalnya) muncul
berbeda-beda. Saat data dikumpulkan mencerminkan penggunaan yang komunikatif
tentang bahasa kedua (sebagaimana dalam studi Pica, misalnya), pesan morfem
adalah sama halnya dengan pesan alami atau berbeda hanya dalam istilah dan
hanya dalam satu atau dua segi yang mungkin terlalu ‘overlearnt’. Kesimpulan
umum ini membenarkan tanpa bergantung apakah pelajar adalah anak-anak atau
dewasa dan yang paling menarik tanpa bergantung dari apakah pelajar orang asing
ataukah lingkungan bahasa kedua. Satu-satunya pengecualian adalah studi
Sajavaara.
Pengajaran formal muncul, lalu, hanya memiliki
efek kurang berarti pada pesan order merujuk kepada bahasa yang digunakan
secara spontan. Namun, sebagaimana yang telah tergambar pada bab 3, pesan
morfem mengukur secara akurat lebih baik daripada pengetahuan yang didapatnya. Dalam
upaya untuk memperoleh gambaran yang dapat dipercaya, mengenai pengaruh
pengajaran pada pengembangan bahasa kedua, penting untuk berbalik ke arah studi
longitudinal mengenai struktur transisi.
Studi longitudinal tentang kelas pemerolehan bahasa kedua
Allwright (1980 : 165) mengamati :
Secara aneh, pendekatan studi kasus sangat
berperan pada metodologi bahasa kesatu dan kedua yang didapatkan para peneliti,
tidak secara khusus, masuk akal untuk pelajar yang berada dalam kelas.
Terdapat sedikit studi longitudinal kelas
pemerolehan bahasa kedua. Tiga diantaranya yang akan dibahas disini adalah
Felix (1981), Ellis (1984a) dan Schumann (1978b). Bukti studi longitudinal yang
tersedia oleh karenanya lebih sedikit dibandingkan apa yang disajikan studi
morfem.
Studi Felix menarik perhatian tertentu karena
subjeknya adalah pelajar kelas asli, contohnya mereka seluruhnya bergantung
pada pengajaran formal untuk input bahasa kedua. Terdapat tiga puluh empat
murid Jerman usia sepuluh hingga delapan tahun, mempelajari bahasa Inggris pada
tahun pertamanya di Sekolah Menengah Atas Jerman. Para murid menerima 45 menit
pelajaran bahasa Inggris selama lima hari seminggu. Studi keseluruhan mencapai
delapan bulan.
Struktur tatabahasa yang Felix laporkan yaitu pada
negasi, interogasi, tipe kalimat, dan kata ganti. Untuk setiap pola, kesamaan
telah ditemukan antara hasil tutor dan pemerolehan bahasa kedua secara alami. Sebagai
contoh, walaupun pelatihan sehari-hari dalam kalimat bulat negatif (misalnya
‘it isn’t) selama minggu pertama, murid tidak dapat menghasilkan kalimat yang
benar dalam menggunakan ‘not’ atau ‘n’t’, sementara ucapan negatif secara
spontan dari minoritas selama periode ini memuat penghubung ‘no’ (misalnya,
‘it’s no my comb’). Saat kata kerja utama kalimat negasi diperkenalkan
(misalnya penggunaan ‘don’t’/doesn’t’), banyak ungkapan negatif anak-anak
mengandung pelengkap kalimat negatif diluar (misalnya, ‘doesn’t she eat apples’
= she doesn’t eat apples). Dengan kata lain, anak-anak banyak menggunakan
‘don’t/doesn’t’ dalam cara khusus bagi pelajar alami yang menggunakan ‘no’. Contoh
serupa mengenai bentuk yang diamati dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami
telah dilaporkan untuk pola lain yang diselidiki oleh Felix.
Felix berkesimpulan bahwa hasil tutor dan hasil
alami pemerolehan bahasa kedua melibatkan proses pembelajaran yang sama dan
bahwa
…..kemungkinan manipulasi dan kontrol kebiasaan
verbal pelajar dalam kelas dalam faktanya terbatas. (Felix 1981:109)
Dalam kelas dimana pengajaran merupakan hal yang
sangat formal, pelajar secara konstan dipaksa untuk menghasilkan pola yang
mereka belum siap. Felix menduga upaya memecahkan masalah ini merupakan satu
dari dua jalan yang ada. Apakah mereka memilih secara acak dari pola repertoir,
ketidakbergantungan sintaksis atau kelayakan semantik, ataukah mereka mengikuti
aturan yang sama bahwa itu merupakan karakteristik tahapan awal pemerolehan
bahasa secara alami.
Ellis menyelidiki tiga pelajar bahasa kedua usia
sepuluh hingga tiga belas tahun. Mereka menerima pengajaran penuh (misal, tanpa
adanya penutur asli anak-anak). Hal itu selayaknya menunjukkan, bagaimanapun,
bahwa bahasa Inggris – bahasa kedua – telah digunakan sebagai media umum
komunikasi baik antara guru dan murid dan diantara murid itu sendiri. Jadi,
baik kelas dan lingkungan sekolah memberikan kesempatan bagi pengguna bahasa
Inggris. Pengajaran bahasa itu sendiri bervariasi, namun secara utama mengenai
jenis audio-lingual. Studi mencangkup periode sembilan bulan. Pada saat awal,
dua anak merupakan benar-benar pemula, sementara yang lain hampir dikatakan
demikian (misal, ia hanya memiliki sedikit perbendaharaan kata bahasa Inggris
saja).
Ellis menguji negatif, interogatif dan sejumlah
frase morfem kata kerja. Kesemua pola ini secara formal diajarkan pada satu
waktu atau saat yang lain selama sembilan bulan pembelajaran – beberapa orang
pada kesempatan yang lain. Saat ucapan komunikasi dihasilkan oleh pelajar di
kelas setelah dianalisa, ternyata menunjukkan pola pengembangan kurang lebih
identik pada penelitian dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami. Hasil ini
adalah benar untuk semua pola yang diselidiki. Sebagai contoh, ungkapan
penyangkalan anak-anak yang terdiri dari anaforik (misal, ‘no’ oleh dirinya
sendiri atau ‘no’+ pernyataan terpisah). Negasi eksternal mengikuti, pertama
dalam ungkapan ketiadaan kata kerja dan kemudian dalam ungkapan berisikan kata
kerja. Penggantian negasi eksternal secara berangsur-angsur oleh negasi
internal terjadi. Bersamaan dengan ‘not’ digantikan ‘no’ sebagai negasi pokok.
Ellis, seperti halnya Felix, berkesimpulan bahwa proses yang sama ditemukan
dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami ditempat kerja. Satu-satunya
perbedaan antara pemerolehan bahasa secara alami dan di kelas bahwa dapat
diamati beberapa pola transisi yang berubah lebih lama (misal, penggunaan
interogatif yes/no yang tidak dibalikan) dan beberapa susunan lambat
muncul. Ellis mengemukakan hal ini sebagai hasil pola penyimpangan
komunikasi yang terjadi di kelas. Fakta lebih lanjut untuk penjelasan ini
berasal dari Long dan Sato (1983), yang menemukan, sebagai misal, bahwa
karakteristik input kelas mendominasi acuan sementara.
Dalam studi Schumann percobaan dengan sengaja
dibuat untuk mengajar pelajar bahasa kedua dewasa tentang bagaimana untuk
ber-negasi. Ini terjadi dalam konteks studi longitudinal dari cara lainnya
yaitu pemerolehan bahasa kedua secara alami. Lebih dahulu pada eksperimen
pengajaran, ungkapan kalimat negatif pelajar secara pokok adalah tipe ‘no + V’.
Pengajaran meliputi periode selama sembilan bulan, dan selama itu perolehan dan
spontanitas ungkapan kalimat negatif diperoleh. Pemerolehan ungkapan telah
ditunjukkan oleh nilai perkembangan (64 persen benar berlawanan dengan sebelum
pengajaran yang hanya mencapai 22 persen). Tetapi, ungkapan secara spontan
tidak menunjukkan perubahan signifikan.(20 persen benar sebagaimana 22 persen
benar sebelum pengajaran). Schumann berkesimpulan bahwa pengajaran mempengaruhi
hasil belajar hanya dalam ujian seperti situasi saat komunikasi normal yang
tidak dibuat-buat.
Dari kesemua studi ini (yang diringkas pada tabel
9.1), dapat diambil suatu hipotesa :
1. pengajaran
bukan proses berbelit-belit yang berperan dalam urutan pengembangan yang jelas
dalam transisi pola seperti kalimat negatif, interogatif dalam pemerolehan
bahasa kedua secara alami.
2. ketika
pelajar di kelas diperlukan untuk menghasilkan pola melebihi kompetensi mereka,
bentuk yang aneh yang biasanya dihasilkan.
3. simpangan
input dapat memperpanjang tahap tertentu dari perkembangan dan melambatkan
timbulnya beberapa fitur gramatikal.
4. pelajar
kelas dapat menggunakan pengetahuan yang diperoleh melalui pengajaran formal
ketika mereka terfokus pada bentuk (yaitu, dalam suatu ujian terpisah).
Bagaimanapun,
banyak penelitian dibutuhkan untuk memperkuat hipotesis ini.
Pengaruh pengajaran
formal pada kesuksesan pemerolehan bahasa kedua.
Studi tentang pengaruh pengajaran formal pada
kesuksesan pemerolehan bahasa kedua telah semakin banyak. Long (1984d), dalam
tinjauan seksama riset yang relevan membuat daftar sebelas studi. Namun,
kesemua studi ini telah menguji ‘kegunaan relatif’ suatu pengajaran. Bahwa,
kesemuanya menyangkut dengan keseluruhan efek pengajaran pada kecakapan bahasa
kedua dalam hubungannya pada efek ekspose ringan bahasa kedua secara alamiah. Jadi,
tidak ada satupun studi yang menguji ‘efek absolut’ pengajaran formal, yaitu,
apakah pengajaran dapat mempercepat pemerolehan pola gramatikal khusus. Juga,
seperti halnya studi yang telah menguji campuran pelajar bahasa kedua (antara
lain, mereka yang menerima ekspose dan pengajaran), studi tersebut tidak dapat
menjawab apakah pengajaran formal yang didalam dirinya lebih efektif daripada
ekspose dalam dirinya, tapi hanya, apakah pengajaran ditambah ekspose lebih
baik daripada tidak ada pengajaran dan ekspose. Hal ini tidak sepenuhnya
memuaskan, dengan alasan, yang akan dipertimbangkan kemudian. Terlebih dahulu,
studi, akan dibagi pada dua grup. Grup pertama berisi sebelas studi hasil
pemikiran Long ; hal ini, seperti yang dicatat dibawah, merujuk pada kegunaan
relatif. Grup berikutnya berisi satu studi oleh Ellis (1984a) yang merujuk pada
efek absolut. Keseluruhan studi hanya memikirkan efek perkembangan gramatikal.
Kegunaan relatif pengajaran formal
Mempelajari tipe studi ini dapat lebih lanjut
dibagi sebagaimana berikut : (1) studi bagi mereka yang menunjukkan pengaruh pengajaran
secara positif, (2) studi bagi mereka yang ambigu, dan (3) studi bagi mereka
yang tidak menunjukkan pengaruh dari pengajaran.
Long (1983d) mendiskusikan enam studi yang
menunjukkan pengaruh positif pengajaran formal. Dua diantaranya membandingkan
pengaruh perbedaan jumlah pengajaran pada pelajar yang menerima jumlah yang
sama dari ekpose. Empat studi lainnya menyelidiki hubungan antara perbedaan
jumlah pengajaran, ekspose dan tingkat kemahiran pelajar. Kesemua studi
mencakup anak-anak dan dewasa, suatu cakupan tingkat kemahiran, dan perbedaan
target bahasa. Juga, pengujian biasa mengukur tingkat kemahiran poin diskrit
(misal, pilihan berganda) dan tipe integratif.
Prosedur diadopsi oleh Krashen dan Seliger (1976)
dan Krashen, Seliger dan Hartnett (1974) untuk mencocokan pasangan siswa yang
memiliki jumah ekspose yang sama namun berbeda periode pengajaran formal
(contohnya, untuk menahan faktor ekspose yang konstan dalam upaya mengukur
pengaruh faktor pengajaran). Kedua studi menemukan bahwa pelajar tersebut
dengan pengajaran yang lebih memiliki skor tinggi dalam test kemahiran
dibandingkan pelajar yang kurang dalam pengajaran. Namun, seperti yang
digambarkan oleh Long, tidaklah mungkin untuk memastikan bahwa pengajaran dalam
diri yang memiliki pengaruh, sebagaimana kiranya, pelajar yang lebih
berpengalaman dalam hal pengajaran lebih banyak berhubungan dengan bahasa
kedua. Jadi, hasil yang diperoleh dapat dijelaskan dalam hubungan jumlah
keseluruhan hubungan (contohnya, total waktu pengajaran ditambah total waktu
ekspose). Dalam upaya untuk menegaskan pengaruh nyata pengajaran formal,
penting untuk memperlihatkan bahwa saat pelajar cocok dalam pengajaran namun
berbeda dalam ekspose (contohnya faktor pengajaran dipengang konstan dalam
upaya menginfestigasi faktor ekspose), tidak terdapat kesesuaian pengaruh
nyata untuk ekspose. Dalam kedua studi ini pada kenyataannya ditemukan sebagai
kasus, memberi kesan bahwa pengamatan pengaruh nyata pengajaran bukan sekedar
hasil dari keseluruhan waktu kontak yang lebih banyak. Bagaimanapun, studi oleh
Martin (1980) menemukan pengaruh nyata untuk ekspose saat pengajaran merupakan
untuk pengendali. Dalam suatu kesimpulan, lebih lanjut, studi oleh Krashen dan
Seliger (1976) dan oleh Krashen, Seliger dan Hartnett (1974) menilai bahwa
pengajaran adalah membantu, namun dengan bukti-bukti yang tak pasti.
Prosedur yang digunakan oleh keempat studi lainnya
(Krashen dkk. 1978 ; Briere 1978 ; Carroll 1967 ; Chihara dan Oller 1978) juga
bahwa menunjukkan pengaruh nyata pengajaran untuk mengukur secara statistik
derajat kesesuaian antara jumlah pengajaran dan ekspose yang berpengalaman
dengan siswa yang berbeda pada satu sisi dan nilai kemahiran pada sisi lainnya.
Keempat studi menemukan hubungan antara ekspose dan kemahiran, tapi hanya tiga
studi yang menemukan hubungan yang sama antara ekspose dan kemahiran. Juga
kekuatan hubungan dengan pengajaran lebih kuat dalam dua studi, dan yang
terlemah hanya pada satu studi.
Pada umumnya, pengajaran merupakan prediktor yang
lebih baik dalam hal tingkat kemahiran daripada ekspose. Namun, sekali lahi,
hal tersebut sangat sulit untuk memisahkan efek pengajaran dan ekspose dalam
studi ini.
Long mendiskusikan dua studi dengan hasil ambigu
(Hale dan Budar 1970, dan Fathman 1976). Pada kedua kasus studi itu sendiri
membuahkan hasil yang mengindikasikan pengajaran tidaklah membantu. Hale dan
Budar, sebagai contoh, menulis :
Terlihat bahwa mereka (pelajar) yang menghabiskan waktu dua hingga tiga
hari dari enam haridalam kelas khusus TESOL menjadi lebih merugikan daripada
membantu. (Hale dan Budar 1970:297)
Mereka berpendapat bahwa pelajar yang mencapai
kemahiran tertinggi dalam waktu sesingkat mungkin merupakan mereka yang
mengalami interaksi total dalam bahasa Inggris dan kebudayaannya. Long, menyebutkan
bahwa karena rancangan studi Hale dan Budar, variabel seperti pengajaran, latar
belakang ekonomi-sosial, jumlah ekspose, dan sikap orang tua apakah
bertentangan sehingga tidaklah mungkin untuk menentukan yang bertanggungjawab
atas perbedaan dalam tingkat kemahiran yang diamati. Long, juga menunjukkan
bahwa permasalahan secara metodologi membuat ragu apa yang dihasilkan Fathman.
Tiga studi (Upshur 1968 ; Mason 1971 ; Fathman
1975) menunjukkan tidak ada keuntungan tentang pengajaran. Dalam setiap kasus,
perbandingan dibuat antara pengajaran dan ekspose serta ekspose saja, dengan
total aktu kontak yang dijaga tetap sama. Long menentang bahwa meskipun
hasilnya negatif, terdapat beberapa indikasi baha pengajaran tetap berperan,
meskipun secara hasil statistik tidak mencapai signifikan.
Pengambilan semua studi ini secara bersama
(digambarkan pada tabel 9.2), Long menyatakan bahwa ‘sungguh terdapat fakta
mengindikasikan bahwa pengajaran bahasa kedua telah membuat perbedaan’ (1983d:
374). Ia membantah bahwa pengaruhnya (1) pada anak sebaik pada dewasa, (2) pada
pelajar tingkat menengah dan tingkat lanjut sebaik pada pemula, (3) pada
keutuhan sebagaimana halnya pada poin test terpisah, dan (4) dalam perolehan si
kaya sebagaimana halnya perolehan si miskin. (3) merupakan signifikan, karena
memberi kesan bahwa pengajaran membantu performan komunikatif, dimana test integratif diharapkan untuk mengukur seperti halnya
performan yang dimonitor dalam pengamatan yang sejenis dalam poin test
terpisah. (4) merupakan pertentangan mengenai hipotesa yang dikemukakan Krashen
tentang hal pengajaran yang akan bernilai dalam pemerolehan di lingkungan
miskin, saat pelajar mungkin tidak dapat memperoleh input memadai melalui
ekspose, tapi tidak signifikan dalam pemerolehan di lingkungan kaya, dimana
disana terdapat banyak input yang dapat dimengerti. Dalam pernyataan Long
tentang penelitian yang didapat, pengaruh pengajaran formal adalah dapat
dimengerti.
Pengaruh nyata pengajaran formal
Studi sejenis yang dilaporkan diatas tidak memberi
keterangan pada apa yang benar-benar terjadi saat pengajaran formal
berlangsung. Jika demikian membantu pemerolehan bahasa kedua, siapakah yang
melakukannya? Ellis (1984e) memperkenalkan untuk menguji ini. Ia mengukur
pengaruh tiga jam pengajaran pada bentuk dan arti dari pertanyaan WH pada
kelompok tiga belas pelajar bahasa kedua tingkat dasar berusia antara sepuluh
sampai lima belas tahun. Dua subjek pelajar diselidiki dalam studi
longitudinal yang telah dibahas lalu. Ini menunjukkan bahwa pada saat pengajaran, WH interogatif mulai muncul
dalam bertutur komunikasi. Seperti ketika anak-anak ini dinilai sedikit dibawah
rata-rata kelompok keseluruhan, hal itu diduga bahwa WH interogatif lebih kecil
dari subjek ‘daerah perkembangan terdekat’ (Vygotsky 1962) ; bahwa, pelajar
secara perkembangannya ‘siap’ untuk pertanyaan WH. Namun, hasil yang
ditunjukkan bahwa untuk keseluruhan kelompok meningkat tidak signifikan dalam
kemampuan anak-anak menggunakan secara tepat dan secara gramatikal dibentuk
dengan baik pertanyaan WH sebagaimana hasil pengajaran. Beberapa anak,
menunjukkan tanda peningkatan individual. Untuk menetapkan apakah hal ini dapat
diturunkan pada pengajaran yang mereka terima, Ellis mengukur partisipasi
setiap murid dalam perubahan pengajaran dalam satu pelajaran. Ia menemukan
bahwa itu adalah interaktor rendah yang lebih baik daripada interaktor tinggi
yang berkembang dalam kemampuan untuk menggunakan pertanyaan WH dimana
merupakan target pelajaran ini. Kemudian keterlibatan aktif dalam pengajaran
formal bahasa tidak muncul untuk memfasilitasi pemerolehan bahasa kedua.
Studi ini tidak dapat dikatakan untuk menunjukkan
bahwa pengajaran formal tidak memiliki pengaruh nyata – lebih banyak lagi
konfirmasi studi yang dibutuhkan untuk meraih kesimpulan tersebut – tapi hal
itu mengindikasikan bahwa kegunaan relatif pengajaran mungkin tidak dihasilkan
dari pemerolehan pola yang mengangkat target n atau pelajara. Poin ini akan
dibahas kemudian.
Sumber: Jurnal Marlia, S.Pd., M.Hum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar