PEMBELAJARAN MENULIS
ILMIAH POPULER BERBASIS BAHASA
MEDIA KORAN
Kajian Pustaka
Menulis adalah kemampuan
yang harus dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan. Ini berarti bahwa
untuk menjadi penulis, seseorang harus melakukan kegiatan menulis secara
terus-menerus. Intensitas menulis akan menentukan apakah seseorang memiliki
ketajaman yang baik atau tidak terhadap permasahanan yang ditulisnya. Menulis
juga dilakukan dengan melibatkan emosional manusia sebagai sebuah potensi
(Bird, 2001). Sebagai sebuah keterampilan, teknik menulis bisa diajarkan (Bird,
2001:32). Atas dasar itu, mata kuliah Kepenulisan di Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia dirangkai dalam beberapa tahapan (Kepenulisan I,
Kepenulisan II, dan Kepenulisan III). Masing-masing tahapan tersebut
mensyaratkan sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh para mahasiswa. Materi
Kepenulisan I berkisar tentang hal-hal yang mendukung sebuah karya ilmiah yang
baik, seperti ejaan, pembentukan kalimat yang baik (sintaksis), pemilihan
diksi, kerangka tulisan, dan teknik menulis. Materi Kepenulisan II adalah
menulis fiksi (cerpen, cerita anak, dan terjemahan cerpen). Kepenulisan III
berisi tentang menulis nonfiksi (artikel ilmiah popular untuk kepentingan
media). Ketiga mata kuliah Kepenulisan ini sifatnya praktikum dan dilaksanakan
dalam bentuk kolaborasi atau koperasi (kerjasama) antara dosen dengan para
mahasiswa.
Penyelenggaraan pembelajaran menulis menurut Hairston
(1986:4) bertujuan untuk: 1) recognizing and appreciating good writing, 2)
understanding the writing process, 3) learning how to get started writing, 4)
learning how to organize writing, 5) learning how to unify writing. Dari tujuan tersebut, jelas
bahwa pada akhirnya pembelajaran menulis ingin melahirkan akademisi yang handal
dalam bidang menulis. Pada kenyataannya tidak semua kemampuan di atas dimiliki
oleh para mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan kepenulisan. Secara empirik
sering muncul pertanyaan bagaimana memulai menulis atau bagaimana membuat
tulisan yang baik. Di samping perlunya penguasaan kemampuan di atas, menulis
sesungguhnya berkait erat dengan dua hal besar, yakni 1) kemampuan material
(isi) tulisan dan 2) berkait erat dengan kemampuan kebahasaan. Seseorang yang
menguasai tatabahasa (teknik penulisan) belum tentu dapat menulis apabila dia
tidak menguasai bahan (material) menulis. Sebaliknya, seseorang yang menguasai
bahan (material) menulis akan mendapatkan hambatan besar dalam proses menulis
apabila dia tidak mengetahui tatabahasa (teknik menulis).
Pada akhirnya, tujuan mata
kuliah ini adalah menciptakan para penulis. Camel Bird (2001:32) menggambarkan
sosok penulis sebagai berikut: “Penulis di depan komputer ini ibarat kucing
kecil yang terperangkap di balkon; mereka kadang menulis paling baik ketika mereka
terjebak dalam bahaya, menjerit untuk menyelamatkan hidup mereka.” Inilah yang
harus dilakukan para dosen menulis; memasukkan mahasiswa dalam “balkon menulis”
dan jeritan mereka adalah kegelisahan untuk menulis.
Perkuliahan menulis ilmiah
populer tak bisa dipisahkan dengan media. Pengenalan media sangat menentukan
bagaimana para mahasiswa memahami karakteristik tulisan yang harus dibuat. Oleh
karena itu pemahaman tentang bahasa jurnalistik sangat dibutuhkan dalam
penulisan ilmiah populer. Beberapa ahli mengidentifikasi berbagai karakteristik
bahasa jurnalistik sebagai sebuah ragam bahasa khas jurnalistik. Berbagai
landasan dan argumentasi yang menempatkan ragam ini dipahami sebagai sebuah
fakta bahasa berdasarkan fungsi media sebagai penyalur informasi kepada publik
(masyarakat).
Ragam bahasa jurnalistik
memiliki ciri-ciri, yaitu bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas.
Sederhana karena harus dipahami secara mudah; komunikatif karena jurnalistik
harus menyampaikan berita yang tepat; dan ringkas karena keterbatasan ruang
(dalam media cetak) dan keterbatasan waktu (dalam media elektronik). Dalam
ragam bahasa jurnalistik ini awalan me- dan di- sering ditanggalkan, yang dalam
penulisan berbahasa baku harus digunakan. Kalimat Gumbernur tinjau daerah banjir
dalam bahasa baku akan berbentuk Gubernur meninjau daerah banjir (Chaer dan
Agustina, 1995:90-91
Hassanudin memberikan uraian
yang rinci tentang ciri-ciri bahasa jurnalistik, yaitu
1) Lugas, tidak mendua arti
Bahasa yang dipergunakan
wartawan harus lugas, artinya Bahasa yang dipergunakan secara langsung pada
sasaran makna yang ingin diungkapkan. Seorang wartawan harus menghindari
menggunakan bahasa yang kemungkinan akan mempunyai banyak tafsir. Eufimisme
relatif sering dipergunakan media massa Indonesia dan cenderung berlebihan
harus dihindari para wartawan. Sama halnya dengan kata-kata yang ambigu harus
dihindari pemakaiannya oleh para wartawan.
2) Sederhana, lazim, dan umum
Media cetak dikonsumsi untuk
segala lapisan masyarakat. Oleh karena itu, wartawan dituntut menyajikan berita yang
sederhana, artinya menggunakan bahasa yang lazim dan diketahui masyarakat umum.
Dengan cara ini, bukan berarti bahwa wartawan kurang pengetahuan atau
menganggap rendah pembacanya. Hal ini mengingat bahwa bahasa surat kabar harus
dapat dibaca oleh semua kalangan dan semua jenjang usia.
3) Singkat dan padat
Surat kabar memiliki
keterbatasan teknis (ruang). Untuk itu bahasa yang dipergunakan harus singkat,
tidak betele-tele, dan tidak berbelit-belit. Dalam menghasilkan berita yang singat
dan padat, wartawan biasanya menggunakan rumus 5W + H dalam menyusun berita.
4) Sistematis dalam penyajian
Ciri ini bermaksud bahwa
sebuah berita surat kabar harus kronologis, menyajikan keteraturan peristiwa
dalam penulisan berita. Kesistematisan ini akan bermanfaat bagi pembaca untuk
secepatnya mendapatkan informasi yang disampaikan surat kabar yang
bersangkutan. Kesinambungan informasi menjadi hak pembaca dalam mengetahui
sebuah peristiwa.
5) Berbahasa netral, tidak
memihak
Bahasa jurnalistik harus
demokratis, bersifat netral, tidak membeda-bedakan posisi sumber berita.
Wartawan harus menyajikan berita secara seimbang dan tidak tendensius.
6) Menarik
Surat kabar dikonsumsi untuk
dibaca masyarakat. Agar masyarakat mau membacanya, maka surat kabar itu harus
menampilkan bahasa yang menarik dan merangsang minat baca. Menarik tidak
berarti tendensius atau menyajikan gosip. Menyajikan berita dengan fakta yang
jelas dan akurat adalah salah satu bagian yang menjadikan pembaca mau membaca
berita tersebut.
7) Kalimatnya pendek
Kalimat pendek dalam bahasa
jurnalistik dimaksudkan agar pokok persoalan yang diungkapkan segera dapat
dimengerti pembacanya. Kalimat pendek yang lengkap dapat mengungkapkan maksud
penulis secara jelas. Upayakan untuk menghindari kalimat majemuk dalam penulis
berita.
8) Bentuk kalimatnya aktif
Agar laporan atau berita itu
menarik dan terasa hidup, maka kalimat aktif yang harus digunakan dalam
menyajikan berita.
9) Menggunakan bahasa positif
Bahasa positif lebih banyak
diminati dibandingkan bahasa negatif. Dalam kegiatan jurnalistik bahasa positif
bisa dijadikan agar pembaca tertarik membaca berita yang dituliskan wartawan.
Menurut Goenawan Mohamad
(1991:83) bahasa jurnalistik harus mengandung unsur hemat dan jelas.
Penghematan diarahkan pada dua sasaran, yakni kata dan kalimat. Semntara
kjelasan dilakukan dengan syarat: si penulis menguasai bahan yang akan
ditulisnya; si penulis mempunyai kesadaran tentang pembaca. Kehematan
jurnalistik pada sasaran kata terlihat dalam hal-hal berikut:
1) Penghematan beberapa kata
yang tidak mengubah arti.
Contoh: agar supaya, akan
tetapi, apabila, sehingga, meskipun dihemat menjadi agar, supaya, tapi,
bila, hingga, meski.
2) Penghematan daripada menjadi dari, di luar kalimat yang
menunjukkan perbandingan.
3) Penghematan huruf pada ejaan yang
salah
Contoh: sjah, khawatir,
akhli menjadi
sah, kuatir, ahli
4) Penghematan beberapa kata
yang memiliki sinonim yang sama.
Contoh: kemudian, makin,
terkejut, sangat, demikian, sekarang menjadi lalu, kian, kaget,. Amat,
begitu, kini.
Beberapa penghematan kamilat
dalam bahasa jurnalistik dilakukan pada:
1) Pemakaian kata adalah, apa, dimana, yang tidak perlu di awal
kalimat.
2) Pemakaian kata Tanya di tengah kalimat.
3) Pemakaian dari yang merupakan terjemahan of dari bahasa
Inggris.
4) Pemakaian untuk sebagai terjemahan to dari bahasa Inggris.
5) Pemakaian adalah sebagai terjemahan is dari bahasa
Inggris.
6) Pemakaian akan, telah, sedang, sebagai penunjuk waktu.
7) Pemakaian bahwa sebagai bentuk tidak langsung.
8) Pemakaian yang sebagai kata sambung.
9) Penggunaan imbuhan
Kejelasan dalam bahasa
jurnalistik menurut Goenawan Mohamad (1991:90) terlihat dalam teknik komposisi:
a) tanda baca yang tertib,
b) ejaan yang tidak menyimpang dari sistem ejaan yang disempurnakan (EYD),
c) pembagian tulisan secara
sistematik dalam alinea.
Dua hal yang harus
diperhatikan dalam praktek kejelasan, yakni
1) Berhemat dengan kata-kata
asing
Seorang wartawan harus
memiliki kamus bahasa untuk memilih diksi (kata) yang sudah diindonesiakan.
Pemakaian istilah asing yang berlebihan akan mempersulit pembaca.
2) Menghindari akronim
Kita saat ini dibanjiri
akronim yang berpola tidak sesuai dengan aturan pembentukan akronim.
Akronim-akronim tersebut bukan hanya mengganggu, melainkan merusak aturan
berbahasa tulis.
Pengenalan karakteristik
bahasa jurnalistik sebagai ragam bahasa kepada para mahasiswa harus disertai
dengan “kedekatan” mahasiswa dengan media. Misalnya, dosen harus mengetahui
seberapa melek mahasiswa terhadap media koran atau majalah. Data ini dibutuhkan
untuk menentukan langkah-langkah dalam pembelajaran menulis ilmiah populer.
Setelah proses sosialisasi media menjadi bagian dari kehidupan para mahasiswa,
barulah ilmu-ilmu bahasa dipergunakan untuk menganalisis ketaatan media
terhadap dalam penggunaan bahasa Indonesia. Selanjutnya praktik menulis ilmiah
populer dapat berlangsung dalam konteks yang sesungguhnya.
Ragam bahasa media koran dari aspek diksi
Diksi merupakan pilihan kata yang digunakan
penulis untuk mengungkapkan atau menyampaikan gagasan/pikiran atau informasi
kepada pembaca. Berdasarkan analisis terhadap Kompas, edisi bulan Mei,
Juni, dan Juli 1998 ditemukan beberapa diksi yang digunakan untuk menyampaikan
informasi yang terjadi pada saat itu. Diksi yang paling menonjol (dominan)
dipakai Kompas, pada edisi tiga bulan tersebut terdiri atas pemerintahan
baru, konstitusional, reformasi (reformasi menyeluruh, reformasi politik dan
ekonomi, kabinet reformasi), komitmen, sinyal positif, psikologis-politis dan
sosial, kabinet reformasi pembangunan, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),
civil society (masyarakat madani), partai politik, konsolidasi dan koreksi,
Munaslub, inklusif, gelombang persuasi, peka, kemerdekaan pers, keterbukaan,
euforia, transparansi, dan manuver. Namun, dari istilah-istilah
tersebut yang sering dijadikan jargon bahkan menjadi wacana adalah reformasi
dan KKN. Kedua istilah itu bahkan dapat dianggap sebagai kata kunci
bahasa pers pada awal reformasi (keruntuhan rezim Orba).
Diksi-diksi tersebut ditulis
sesuai dengan kepentingan tema tulisan, misalnya diksi “reformasi” pada umumnya
dipakai untuk menyatakan pembaharuan politik yang terjadi setelah runtuhnya
Orde Baru. Apabila dalam tiga bulan pertama, diksi politik lebih dominan
dibandingkan dengan diksi lainnya, hal tersebut disebabkan pemberitaan politik
mendominasi Kompas (mungkin juga koran lain) pada tiga bulan tersebut.
Namun, beberapa diksi politik diambil dari diksi di luar bidang politik,
misalnya, diksi “manuver” biasanya dipakai untuk istilah kedirgantaraan.
Lazimnya kata manuver ditujukan untuk pesawat terbang yang sedang
beraksi.
Selain diksi-diksi yang
dipakai di atas, Kompas juga memuat diksi-diksi yang merupakan serapan
dari bahasa asing (termasuk bahasa daerah), seperti kata civil liberation (kebebasan
kewarganegaraan), haru-biru (turut serta), civil and political righs (hak-hak
sipil dan politik), de facto dan de jure (pengakuan nasional dan
internasional), umwertung aller werten (penjungkirbalikan semua nilai
dan lembaganya), tour of duty (pergantian tugas), tour of area (pergantian
wilayah), pripacy (bersifat pribadi), managed reform (reformasi
terkendali), post scriptum (catatan di masa mendatang), gap (kesenjangan),
quid pro quo (tawaran), rush (panik), civil society (masyarakat
sipil, masyarakat madani), ergo (karena itu), nation building (pembangunan
bangsa), fairness (tidak curang), cukongisme (percukongan), sense
of crisis (ikut merasa menderita), sing sapa salah, seleh (barangsiapa
yang bersalah, akan jatuh), mikul duwur mendem jero (mempertimbangkan
dengan pikiran yang jernih dan bijaksana), civitas academica (masyarakat
kampus), dan sepi ing pamrih (tak berharap penghargaan). Di antara
istilah-istilah tersebut ada yang disertai pengertiannya, namun juga ada yang
hanya istilah tanpa pengertian atau definisi.
Banyaknya istilah asing
memberikan indikasi tiga hal, pertama bahwa Kompas hendak menyebarkan
penggunaan atau istilah asing di tengah masyarakat Indonesia. Kedua, Kompas menunjukkan
diri sebagai koran intelek, karena selama ini ada anggapan di masyarakat bahwa
istilah asing identik dengan tingkat intelektual. Ketiga, “Tajuk Rencana” Kompas
diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia kelas menengah atas, termasuk
pejabat dan birokrat, bukan untuk kelas bawah. Dengan kata lain, sasaran “Tajuk
Rencana” Kompas adalah pihak penguasa yang sedang memainkan kekuasaaanya
di negeri ini.
Ragam bahasa media koran dari aspek sintaksis
Tatakalimat atau struktur
kalimat memegang peranan penting dalam sebuah wacana atau teks. Analisis
terhadap tatakalimat-tatakalimat, bahkan, dapat memberikan jawaban ideologi
yang dianut sebuah media. Oleh karena itu, dalam konteks pembelajaran menulis
perlu dikaji bagaimana tatakalimat media, dalam hal ini Kompas, agar
mahasiswa mampu mengadaptasi gaya penulisan koran tersebut.
Namun, analisis terhadap
aspek sintaksis ini penting untuk mengetahui sejauhmana kesalahan-kesalahan
sintaksis dibuat oleh redaksi dalam menyampaikan gagasannya. Di bawah ini
merupakan kecenderungan yang mengarah pada kesalahan sintaksis yang dilakukan Kompas
dalam “Tajuk Rencana’-nya. Kecenderungan gaya penulisan Kompas,
khusus pada “Tajuk Rencana” memiliki karakter sebagai berikut.
a) Menggunakan kalimat yang panjang
Contoh: “Antara lain yang
menjadi tuntutan reformasi serta dirumuskan oleh pemimpin dan juru bicara
gerakan reformasi Dr. Amien Rais adalah pemerintahan baru dapat
menyelenggarakan pemilihan umum hingga Sidang Umum untuk memilih pemimpin
nasional yang baru dalam jangka waktu enam bulan (Kompas, Kamis 21
Mei’98).” (Kompas, 22 Mei 1998) “Manakala agenda dan langkah itu bisa
menjadi kebijakan pemerintahan baru, kecuali mulai melegakan masyarakat, hal
itu juga memperbesar kepercayaan dan wibawa pemerintahan baru itu.” (Kompas,
25 Mei 1998).
b) Santai dan tidak formal sehingga
terjadi kesalahan dalam menggunakan kata di awal kalimat dan di awal paragraf
Kata “antara lain” dan “di
antaranya” (di awal kalimat) Contoh: Antara lain yang menjadi tuntutan reformasi…. (Kompas,
22 Mei 1998) antaranya bahwa lebih 1.000 korban tewas…. (Kompas, 22 Juni
1998). Kata “dari” (di awal paragraf) Contoh: Dari prinsip, semangat,
dan orientasi reformasi itu…. (Kompas, 22 Mei 1998) Dari pengalaman kita di masa
lampau…. (Kompas, 26 Mei 1998). Dari hadirnya dua pendapat itu saja….(Kompas,
4 Juli 1998). Kata “yakni” (di awal kalimat dan di awal paragraf) Contoh:
Yakni terbentuknya Kabinet Baru. (Kompas, 22 Mei 1998) Yakni masyarakat
yang bertumpu pada pemahaman…. (Kompas, 26 Mei 1998) Yakni kemampuan
negara dalam menghimpun dana…. (Kompas, 16 Juni 1998). Kata
“misalnya” (di awal paragraf) Contoh: Misalnya, sangatlah besar peranan
pulihnya kepercayaan. (Kompas, 22 Mei 1998) Misalnya, langkah
membebaskan tahanan politik…. (Kompas, 25 Mei 1998). Kata “sebab” dan
“karena’ (di awal kalimat dan awal paragraf) Contoh: Sebab yang berada di
bahu mereka bukan lagi kemudahan…. (Kompas, 25 Mei 1998). Sebab merubah kultur jauh
lebih makan waktu…. (Kompas, 4 Juli 1998). Karena bersikap dan bertindak
serba tanggung…. (Kompas, 4 Juli 1998). Sebab dalam keadaan obyektif
pun…. (Kompas, 10 Juni 1998). Kata “bahkan” (di awal kalimat) Bahkan
diumumkan tujuh oknum Kopassus…. (Kompas, 17 Juli 1998). Bahkan untuk
sekadar kegiatan pemeliharaan pun…. (Kompas, 16 Juni 1998). Kata
“sedangkan” (di awal kalimat) Contoh: Sedangkan pemerintahan dan
perangkatnya sekarang…. (Kompas, 4 Juli 1998). Kata “atau” (di awal
paragraf) Atau untuk mengutip ungkapan…. (Kompas, 8 Juni 1998)
Kata-kata “antara lain”, “di
antaranya”, “dari”, “yakni”, “misalnya”, “karena”, “sebab”, “bahkan”,
“sedangkan”, dan “atau” seharusnya tidak digunakan di awal paragraf atau di
awal kalimat karena kata-kata tersebut menunjukkan keterpaduan dengan kata
sebelumnya dalam sebuah kalimat. Apabila kata-kata tersebut dipakai di awal
kalimat berarti kalimat sebelumnya belum dianggap selesai. Dengan kata lain,
apabila kata-kata hubung di atas dipakai, maka kalimat tersebut harus
bersambung dengan kalimat sebelumnya atau kalimat sesudahnya. Kesalahan ini
mungkin saja tidak menyebabkan makna berubah, namun secara struktur penulisan
tetap dianggap menyalahi aturan berbahasa tulis bahasa Indonesia.
Implikasi lain dari kesalahan-kesalahan di
atas menunjukkan bahwa “Tajuk Rencana” Kompas banyak ditulis dalam
bahasa lisan yang dituliskan. Kesalahan tersebut terjadi karena sering
digunakan dalam bahasa lisan, bukan bahasa tulisan. Karakter bahasa lisan
tersebut akan sangat tampak apabila Tajuk tersebut dibaca secara utuh. Oleh
karena itu, selama Kompas, menggunakan gaya lisan, agak sulit
menghindari kesalahan-kesalahan struktur penulisan tersebut.
c) Terdapat paragraf yang hanya satu
kalimat
Contoh: “Prinsip dan
semangat lain ialah keterbukaan dan transparansi, pertanggungjawaban
pemerintahan dan birokrasinya, berlakunya azas dan kepastian hukum yang
melindungi martabat dan hak-hak asasi manusia, penyelenggaraan Demokrasi
Pancasila secara murni, jujur dan benar-benar menjunjung tinggi Kedaulatan
Rakyat dan karena itu menghormati serta melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat,
menyelenggarakan pembangunan ekonomi yang bertujuan mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.” (Kompas, 22 Mei 1998). “Perkembangan dan kondisi
psikis-politis yang hidup dalam masyarakat, rupanya adalah demikian rupa, bahwa
langkah darurat penyelamatan dan pemulihan ekonomi itu pun, dipengaruhi bahkan
ditentukan oleh penyelesaian reformasi politik secara tuntas.” (Kompas,
25 Mei 1998). Dalam satu “Tajuk Rencana” paragraf yang hanya satu kalimat lebih
dari satu paragraf, bahkan mencapai 8 paragraf hanya terdiri atas satu kalimat.
Hal ini bukan hanya membuat lelah pembaca “Tajuk Rencana” Kompas, namun
secara komposisi bahwa sebuah kalimat harus memiliki satu gagasan utama yang
dicerminkan dalam kalimat utama dan beberapa gagasan penjelas yang dicerminkan
dalam kalimat pendukung tidak dapat dipenuhi.
d) Penggunaan tanda baca, misalnya
koma (,) huruf miring (italik) masih ditemukan kesalahan atau kekurangan.
Contoh: Karena itu segala
sesuatu yang sudah minta korban…. (Kompas, 22 Mei 1998) Namun ada yang
segera dapat ditangkap…. (Kompas, 22 Mei 1998). Pada hari Kamis, 2 Juli
’98 surat kabar ini menurunkan tajuk berjudul Meski Makan Waktu, Semuanya
Akhirnya akan Dapat Dibereskan. (Kompas, 17 Juli 1998).
e) Menggunakan kata-kata hiperbola
Contoh: “Prinsip dan semangat lain
ialah keterbukaan dan transparansi, pertanggungjawaban pemerintahan dan
birokrasinya, berlakunya azas dan kepastian hukum yang melindungi martabat dan
hak-hak asasi manusia, penyelenggaraan Demokrasi Pancasila secara murni, jujur
dan benar-benar menjunjung tinggi Kedaulatan Rakyat dan karena itu menghormati
serta melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat, menyelenggarakan pembangunan ekonomi
yang bertujuan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” (Kompas,
22 Mei 1998). “Perkembangan dan kondisi psikis-politis yang hidup dalam
masyarakat, rupanya adalah demikian rupa, bahwa langkah darurat penyelamatan
dan pemulihan ekonomi itu pun, dipengaruhi bahkan ditentukan oleh penyelesaian
reformasi politik secara tuntas.” (Kompas, 25 Mei 1998).
Dalam satu “Tajuk Rencana” paragraf
yang hanya satu kalimat lebih dari satu paragraf, bahkan mencapai 8 paragraf
hanya terdiri atas satu kalimat. Hal ini bukan hanya membuat lelah pembaca
“Tajuk Rencana” Kompas, namun secara komposisi bahwa sebuah kalimat
harus memiliki satu gagasan utama yang dicerminkan dalam kalimat utama dan
beberapa gagasan penjelas yang dicerminkan dalam kalimat pendukung tidak dapat
dipenuhi.
d) Penggunaan tanda baca, misalnya koma (,) huruf miring
(italik) masih ditemukan kesalahan atau kekurangan.
Contoh: Karena itu segala sesuatu
yang sudah minta korban…. (Kompas, 22 Mei 1998) Namun ada yang segera
dapat ditangkap…. (Kompas, 22 Mei 1998). Pada hari Kamis, 2 Juli ’98
surat kabar ini menurunkan tajuk berjudul Meski Makan Waktu, Semuanya
Akhirnya akan Dapat Dibereskan. (Kompas, 17 Juli 1998).
e) Menggunakan kata-kata hiperbola
Contoh:
Sungguh-sungguh merupakan panggilan tugas…. (Kompas, 22 Mei 1998)
Penyelesaian masalah
Berdasarkan data-data di
atas dapat dijelaskan bahwa rendahnya kemampuan menulis didukung oleh rendahnya
akses mahasiswa terhadap media. Sejalan dengan rendahnya melek media, mahasiswa
tidak mengetahui informasi aktual atau pemberitaan aktual yang menarik untuk
ditulis. Kehilangan informasi aktual sama artinya dengan kehilangan bahan
tulisan menulis ilmiah populer. Ini artinya, selama tidak mengakses media
rangsangan (stimuli) untuk menulis tidak akan pernah ada. Sikap kritis dan
kerisauan terhadap persoalan-persoalan akan lahir pada diri mahasiswa apabila
mereka mampu mengamati perkembangan informasi dan mengikuti berbagai isu aktual
yang dimuat pada media massa khususnya koran. Sebaliknya, keengganan menulis
terjadi pada diri mahasiswa karena mereka tidak mengetahui isu-isu penting yang
layak untuk diangkat ke dalam sebuah tulisan.
Dengan input akses media
yang rendah, pembelajaran menulis menjadi semakin berat karena harus melakukan
langkah-langkah yang menyebabkan mahasiswa menjadi kritis dan hirau terhadap
sebuah persoalan. Langkah ini dalam tulisan ini dilakukan dengan membelajarkan
secara langsung anatomi media dan dasar-dasar jurnalistik sesuai dengan gaya selingkung
koran. Dalam beberapa kali pertemuan (6 kali), mahasiswa diajak berdiskusi dan
bersikap kritis terhadap setiap pemberitaan pada koran yang mereka akses.
Berdasarkan diskusi itulah lahir bahan-bahan tulisan dan gagasan untuk
dijadikan tulisan. Demikian karya-karya dari tangan mahasiswa lahir.
Pada saat mengakses media,
penting artinya bagi para mahasiswa mengenal gaya penulisan media termasuk
kesalahan-kesalahan yang dilakukan media dalam menyampaikan gagasan dan
informasi. Berdasarkan data di atas, berbagai kesalahan media banyak terjadi,
baik dari aspek diksi, sintaksis, paragraf, bahkan hal yang selama ini dianggap
kecil seperti tanda baca. Sikap hirau terhadap kesalahan-kesalahan media ini
juga penting bagi mahasiswa karena mereka diharapkan dapat menulis dengan
bahasa yang benar.
Analisis terhadap penggunaan
diksi dilakukan untuk memberikan wawasan bagaimana media memanfaatkan istilah
atau menggunakan istilah untuk sebuah kepentingan pemberitaan. Pemakaian
istilah tersebut bahkan bisa diidentifikasi sebagai kepentingan media dalam
menyampaikan pandangannya. Dalam dunia media, istilah (diksi) menjadi hidup dan
tidak kaku milik rumpun sebuah ilmu, namun dipakai untuk kepentingan
pemberitaan yang berlainan topik bahkan bidang keilmuan (informasi). Cara ini
pun dilakukan untuk membuat tulisan mahasiswa menarik dan menantang untuk
dibaca orang lain. Diksi-diksi yang menarik bahkan cenderung provokatif perlu
dikuasai oleh seorang calon penulis untuk memainkan tulisannya agar menarik dan
diminati pembaca. Tanpa penguasaan diksi secara baik, tulisan para mahasiswa
akan tampak kaku, sebagaimana tugas-tugas pembuatan makalah.
Pembelajaran
yang dilakukan dengan basis pengenalan (akses) media ini menghasilkan beberapa
perubahan signifikan dalam diri mahasiswa, yakni lahirnya kompetensi-kompetensi
kepenulisan ilmiah populer seperti memahami gaya penulisan di media massa,
menentukan topik aktual, membuat judul menarik (5 kata), menggunakan penyajian
yang ringan (populer), menguasai diksi populer, menggunakan kalimat pendek dan
jelas, mengembangkan variasi paragraf, menuangkan gagasan dalam 6 halaman.
Kemampuan-kemampuan ini
secara fungsional akan bermanfaat pada saat mereka menulis untuk sebuah media
dan mengidentifikasi karakter media tersebut. Indikator-indikator kualitatif
keberhasilan pembelajaran ini dibuktikan berdasarkan portofolio para mahasiswa
berupa tulisan (karya) populer para mahasiswa. Karya para mahasiswa itulah,
bukti apakah model ini dianggap berhasil atau tidak dalam menunjang
pembelajaran kepenulisan ilmiah populer bagi para mahasiswa.
Pustaka Rujukan
- Alwasilah, A. C. 2000. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: CV Andira.
- Bird, C. 2001. Menulis dengan Emosional, Panduan Empatik Mengarang Fiksi. Bandung: Kaifa.
- DePorter, B. dan Mike H. 1999. Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa Dryden,
- G. dan Jeannette Vos. 2000. Revolusi Cara Belajar. Bandung: kaifa.
- Funk, R. et al. 1989. Option for Reading and Writing. New York: McMillan.
- Hairston, M. 1986. Contemporary Composition. Boston: Houghton Mifflin Company.
- Hamp-L. dan Heasley.1987. Study Writing. Cambridge: Cambridge University Press.
- Heller, M. F. 1991. Reading Writing Connections from Theory to Practice. New York:Lougman Publishing Group.
- Koentjaraningrat.1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
- Kompas, edisi Mei, Juni, Juli 1998. McCrimmon. 1984. Writing With a Purpose. Boston: Houghton Mifflin Company.
- Skerritt, O. Z., Ed. 1996. New Directions in Action Research. London: Falmer Press.
- Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing, Balancing Process and Product. McMillan: College Publishing Company Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar