Jumat, 31 Mei 2013

MENULIS ILMIAH POPULER BERBASIS MEDIA KORAN


PEMBELAJARAN MENULIS ILMIAH POPULER BERBASIS BAHASA
 MEDIA KORAN

Kajian Pustaka

Menulis adalah kemampuan yang harus dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan. Ini berarti bahwa untuk menjadi penulis, seseorang harus melakukan kegiatan menulis secara terus-menerus. Intensitas menulis akan menentukan apakah seseorang memiliki ketajaman yang baik atau tidak terhadap permasahanan yang ditulisnya. Menulis juga dilakukan dengan melibatkan emosional manusia sebagai sebuah potensi (Bird, 2001). Sebagai sebuah keterampilan, teknik menulis bisa diajarkan (Bird, 2001:32). Atas dasar itu, mata kuliah Kepenulisan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dirangkai dalam beberapa tahapan (Kepenulisan I, Kepenulisan II, dan Kepenulisan III). Masing-masing tahapan tersebut mensyaratkan sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh para mahasiswa. Materi Kepenulisan I berkisar tentang hal-hal yang mendukung sebuah karya ilmiah yang baik, seperti ejaan, pembentukan kalimat yang baik (sintaksis), pemilihan diksi, kerangka tulisan, dan teknik menulis. Materi Kepenulisan II adalah menulis fiksi (cerpen, cerita anak, dan terjemahan cerpen). Kepenulisan III berisi tentang menulis nonfiksi (artikel ilmiah popular untuk kepentingan media). Ketiga mata kuliah Kepenulisan ini sifatnya praktikum dan dilaksanakan dalam bentuk kolaborasi atau koperasi (kerjasama) antara dosen dengan para mahasiswa.

Penyelenggaraan pembelajaran menulis menurut Hairston (1986:4) bertujuan untuk: 1) recognizing and appreciating good writing, 2) understanding the writing process, 3) learning how to get started writing, 4) learning how to organize writing, 5) learning how to unify writing. Dari tujuan tersebut, jelas bahwa pada akhirnya pembelajaran menulis ingin melahirkan akademisi yang handal dalam bidang menulis. Pada kenyataannya tidak semua kemampuan di atas dimiliki oleh para mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan kepenulisan. Secara empirik sering muncul pertanyaan bagaimana memulai menulis atau bagaimana membuat tulisan yang baik. Di samping perlunya penguasaan kemampuan di atas, menulis sesungguhnya berkait erat dengan dua hal besar, yakni 1) kemampuan material (isi) tulisan dan 2) berkait erat dengan kemampuan kebahasaan. Seseorang yang menguasai tatabahasa (teknik penulisan) belum tentu dapat menulis apabila dia tidak menguasai bahan (material) menulis. Sebaliknya, seseorang yang menguasai bahan (material) menulis akan mendapatkan hambatan besar dalam proses menulis apabila dia tidak mengetahui tatabahasa (teknik menulis).

Pada akhirnya, tujuan mata kuliah ini adalah menciptakan para penulis. Camel Bird (2001:32) menggambarkan sosok penulis sebagai berikut: “Penulis di depan komputer ini ibarat kucing kecil yang terperangkap di balkon; mereka kadang menulis paling baik ketika mereka terjebak dalam bahaya, menjerit untuk menyelamatkan hidup mereka.” Inilah yang harus dilakukan para dosen menulis; memasukkan mahasiswa dalam “balkon menulis” dan jeritan mereka adalah kegelisahan untuk menulis.
Perkuliahan menulis ilmiah populer tak bisa dipisahkan dengan media. Pengenalan media sangat menentukan bagaimana para mahasiswa memahami karakteristik tulisan yang harus dibuat. Oleh karena itu pemahaman tentang bahasa jurnalistik sangat dibutuhkan dalam penulisan ilmiah populer. Beberapa ahli mengidentifikasi berbagai karakteristik bahasa jurnalistik sebagai sebuah ragam bahasa khas jurnalistik. Berbagai landasan dan argumentasi yang menempatkan ragam ini dipahami sebagai sebuah fakta bahasa berdasarkan fungsi media sebagai penyalur informasi kepada publik (masyarakat).

Ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri-ciri, yaitu bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami secara mudah; komunikatif karena jurnalistik harus menyampaikan berita yang tepat; dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak) dan keterbatasan waktu (dalam media elektronik). Dalam ragam bahasa jurnalistik ini awalan me- dan di- sering ditanggalkan, yang dalam penulisan berbahasa baku harus digunakan. Kalimat Gumbernur tinjau daerah banjir dalam bahasa baku akan berbentuk Gubernur meninjau daerah banjir (Chaer dan Agustina, 1995:90-91

Hassanudin memberikan uraian yang rinci tentang ciri-ciri bahasa jurnalistik, yaitu
1)      Lugas, tidak mendua arti
Bahasa yang dipergunakan wartawan harus lugas, artinya Bahasa yang dipergunakan secara langsung pada sasaran makna yang ingin diungkapkan. Seorang wartawan harus menghindari menggunakan bahasa yang kemungkinan akan mempunyai banyak tafsir. Eufimisme relatif sering dipergunakan media massa Indonesia dan cenderung berlebihan harus dihindari para wartawan. Sama halnya dengan kata-kata yang ambigu harus dihindari pemakaiannya oleh para wartawan.
2)      Sederhana, lazim, dan umum
Media cetak dikonsumsi untuk segala lapisan masyarakat. Oleh karena itu, wartawan dituntut menyajikan berita yang sederhana, artinya menggunakan bahasa yang lazim dan diketahui masyarakat umum. Dengan cara ini, bukan berarti bahwa wartawan kurang pengetahuan atau menganggap rendah pembacanya. Hal ini mengingat bahwa bahasa surat kabar harus dapat dibaca oleh semua kalangan dan semua jenjang usia.
3)      Singkat dan padat
Surat kabar memiliki keterbatasan teknis (ruang). Untuk itu bahasa yang dipergunakan harus singkat, tidak betele-tele, dan tidak berbelit-belit. Dalam menghasilkan berita yang singat dan padat, wartawan biasanya menggunakan rumus 5W + H dalam menyusun berita.
4)      Sistematis dalam penyajian
Ciri ini bermaksud bahwa sebuah berita surat kabar harus kronologis, menyajikan keteraturan peristiwa dalam penulisan berita. Kesistematisan ini akan bermanfaat bagi pembaca untuk secepatnya mendapatkan informasi yang disampaikan surat kabar yang bersangkutan. Kesinambungan informasi menjadi hak pembaca dalam mengetahui sebuah peristiwa.
5)      Berbahasa netral, tidak memihak
Bahasa jurnalistik harus demokratis, bersifat netral, tidak membeda-bedakan posisi sumber berita. Wartawan harus menyajikan berita secara seimbang dan tidak tendensius.
6)      Menarik
Surat kabar dikonsumsi untuk dibaca masyarakat. Agar masyarakat mau membacanya, maka surat kabar itu harus menampilkan bahasa yang menarik dan merangsang minat baca. Menarik tidak berarti tendensius atau menyajikan gosip. Menyajikan berita dengan fakta yang jelas dan akurat adalah salah satu bagian yang menjadikan pembaca mau membaca berita tersebut.
7)      Kalimatnya pendek
Kalimat pendek dalam bahasa jurnalistik dimaksudkan agar pokok persoalan yang diungkapkan segera dapat dimengerti pembacanya. Kalimat pendek yang lengkap dapat mengungkapkan maksud penulis secara jelas. Upayakan untuk menghindari kalimat majemuk dalam penulis berita.
8)      Bentuk kalimatnya aktif
Agar laporan atau berita itu menarik dan terasa hidup, maka kalimat aktif yang harus digunakan dalam menyajikan berita.

9)       Menggunakan bahasa positif
Bahasa positif lebih banyak diminati dibandingkan bahasa negatif. Dalam kegiatan jurnalistik bahasa positif bisa dijadikan agar pembaca tertarik membaca berita yang dituliskan wartawan.

Menurut Goenawan Mohamad (1991:83) bahasa jurnalistik harus mengandung unsur hemat dan jelas. Penghematan diarahkan pada dua sasaran, yakni kata dan kalimat. Semntara kjelasan dilakukan dengan syarat: si penulis menguasai bahan yang akan ditulisnya; si penulis mempunyai kesadaran tentang pembaca. Kehematan jurnalistik pada sasaran kata terlihat dalam hal-hal berikut:
1) Penghematan beberapa kata yang tidak mengubah arti.
Contoh: agar supaya, akan tetapi, apabila, sehingga, meskipun dihemat menjadi agar, supaya, tapi, bila, hingga, meski.
2) Penghematan daripada menjadi dari, di luar kalimat yang menunjukkan perbandingan.
3) Penghematan huruf pada ejaan yang salah
Contoh: sjah, khawatir, akhli menjadi sah, kuatir, ahli
4) Penghematan beberapa kata yang memiliki sinonim yang sama.
Contoh: kemudian, makin, terkejut, sangat, demikian, sekarang menjadi lalu, kian, kaget,. Amat, begitu, kini.
Beberapa penghematan kamilat dalam bahasa jurnalistik dilakukan pada:
1) Pemakaian kata adalah, apa, dimana, yang tidak perlu di awal kalimat.
2) Pemakaian kata Tanya di tengah kalimat.
3) Pemakaian dari yang merupakan terjemahan of dari bahasa Inggris.
4) Pemakaian untuk sebagai terjemahan to dari bahasa Inggris.
5) Pemakaian adalah sebagai terjemahan is dari bahasa Inggris.
6) Pemakaian akan, telah, sedang, sebagai penunjuk waktu.
7) Pemakaian bahwa sebagai bentuk tidak langsung.
8) Pemakaian yang sebagai kata sambung.
9) Penggunaan imbuhan
Kejelasan dalam bahasa jurnalistik menurut Goenawan Mohamad (1991:90) terlihat dalam teknik komposisi:
a) tanda baca yang tertib,
b) ejaan yang tidak menyimpang dari sistem ejaan yang disempurnakan (EYD),
c) pembagian tulisan secara sistematik dalam alinea.

Dua hal yang harus diperhatikan dalam praktek kejelasan, yakni
1) Berhemat dengan kata-kata asing
Seorang wartawan harus memiliki kamus bahasa untuk memilih diksi (kata) yang sudah diindonesiakan. Pemakaian istilah asing yang berlebihan akan mempersulit pembaca.
2) Menghindari akronim
Kita saat ini dibanjiri akronim yang berpola tidak sesuai dengan aturan pembentukan akronim. Akronim-akronim tersebut bukan hanya mengganggu, melainkan merusak aturan berbahasa tulis.

Pengenalan karakteristik bahasa jurnalistik sebagai ragam bahasa kepada para mahasiswa harus disertai dengan “kedekatan” mahasiswa dengan media. Misalnya, dosen harus mengetahui seberapa melek mahasiswa terhadap media koran atau majalah. Data ini dibutuhkan untuk menentukan langkah-langkah dalam pembelajaran menulis ilmiah populer. Setelah proses sosialisasi media menjadi bagian dari kehidupan para mahasiswa, barulah ilmu-ilmu bahasa dipergunakan untuk menganalisis ketaatan media terhadap dalam penggunaan bahasa Indonesia. Selanjutnya praktik menulis ilmiah populer dapat berlangsung dalam konteks yang sesungguhnya.

Ragam bahasa media koran dari aspek diksi
 Diksi merupakan pilihan kata yang digunakan penulis untuk mengungkapkan atau menyampaikan gagasan/pikiran atau informasi kepada pembaca. Berdasarkan analisis terhadap Kompas, edisi bulan Mei, Juni, dan Juli 1998 ditemukan beberapa diksi yang digunakan untuk menyampaikan informasi yang terjadi pada saat itu. Diksi yang paling menonjol (dominan) dipakai Kompas, pada edisi tiga bulan tersebut terdiri atas pemerintahan baru, konstitusional, reformasi (reformasi menyeluruh, reformasi politik dan ekonomi, kabinet reformasi), komitmen, sinyal positif, psikologis-politis dan sosial, kabinet reformasi pembangunan, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), civil society (masyarakat madani), partai politik, konsolidasi dan koreksi, Munaslub, inklusif, gelombang persuasi, peka, kemerdekaan pers, keterbukaan, euforia, transparansi, dan manuver. Namun, dari istilah-istilah tersebut yang sering dijadikan jargon bahkan menjadi wacana adalah reformasi dan KKN. Kedua istilah itu bahkan dapat dianggap sebagai kata kunci bahasa pers pada awal reformasi (keruntuhan rezim Orba).

Diksi-diksi tersebut ditulis sesuai dengan kepentingan tema tulisan, misalnya diksi “reformasi” pada umumnya dipakai untuk menyatakan pembaharuan politik yang terjadi setelah runtuhnya Orde Baru. Apabila dalam tiga bulan pertama, diksi politik lebih dominan dibandingkan dengan diksi lainnya, hal tersebut disebabkan pemberitaan politik mendominasi Kompas (mungkin juga koran lain) pada tiga bulan tersebut. Namun, beberapa diksi politik diambil dari diksi di luar bidang politik, misalnya, diksi “manuver” biasanya dipakai untuk istilah kedirgantaraan. Lazimnya kata manuver ditujukan untuk pesawat terbang yang sedang beraksi.

Selain diksi-diksi yang dipakai di atas, Kompas juga memuat diksi-diksi yang merupakan serapan dari bahasa asing (termasuk bahasa daerah), seperti kata civil liberation (kebebasan kewarganegaraan), haru-biru (turut serta), civil and political righs (hak-hak sipil dan politik), de facto dan de jure (pengakuan nasional dan internasional), umwertung aller werten (penjungkirbalikan semua nilai dan lembaganya), tour of duty (pergantian tugas), tour of area (pergantian wilayah), pripacy (bersifat pribadi), managed reform (reformasi terkendali), post scriptum (catatan di masa mendatang), gap (kesenjangan), quid pro quo (tawaran), rush (panik), civil society (masyarakat sipil, masyarakat madani), ergo (karena itu), nation building (pembangunan bangsa), fairness (tidak curang), cukongisme (percukongan), sense of crisis (ikut merasa menderita), sing sapa salah, seleh (barangsiapa yang bersalah, akan jatuh), mikul duwur mendem jero (mempertimbangkan dengan pikiran yang jernih dan bijaksana), civitas academica (masyarakat kampus), dan sepi ing pamrih (tak berharap penghargaan). Di antara istilah-istilah tersebut ada yang disertai pengertiannya, namun juga ada yang hanya istilah tanpa pengertian atau definisi.

Banyaknya istilah asing memberikan indikasi tiga hal, pertama bahwa Kompas hendak menyebarkan penggunaan atau istilah asing di tengah masyarakat Indonesia. Kedua, Kompas menunjukkan diri sebagai koran intelek, karena selama ini ada anggapan di masyarakat bahwa istilah asing identik dengan tingkat intelektual. Ketiga, “Tajuk Rencana” Kompas diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia kelas menengah atas, termasuk pejabat dan birokrat, bukan untuk kelas bawah. Dengan kata lain, sasaran “Tajuk Rencana” Kompas adalah pihak penguasa yang sedang memainkan kekuasaaanya di negeri ini.

Ragam bahasa media koran dari aspek sintaksis

Tatakalimat atau struktur kalimat memegang peranan penting dalam sebuah wacana atau teks. Analisis terhadap tatakalimat-tatakalimat, bahkan, dapat memberikan jawaban ideologi yang dianut sebuah media. Oleh karena itu, dalam konteks pembelajaran menulis perlu dikaji bagaimana tatakalimat media, dalam hal ini Kompas, agar mahasiswa mampu mengadaptasi gaya penulisan koran tersebut.
Namun, analisis terhadap aspek sintaksis ini penting untuk mengetahui sejauhmana kesalahan-kesalahan sintaksis dibuat oleh redaksi dalam menyampaikan gagasannya. Di bawah ini merupakan kecenderungan yang mengarah pada kesalahan sintaksis yang dilakukan Kompas dalam “Tajuk Rencana’-nya. Kecenderungan gaya penulisan Kompas, khusus pada “Tajuk Rencana” memiliki karakter sebagai berikut.
a) Menggunakan kalimat yang panjang
Contoh: “Antara lain yang menjadi tuntutan reformasi serta dirumuskan oleh pemimpin dan juru bicara gerakan reformasi Dr. Amien Rais adalah pemerintahan baru dapat menyelenggarakan pemilihan umum hingga Sidang Umum untuk memilih pemimpin nasional yang baru dalam jangka waktu enam bulan (Kompas, Kamis 21 Mei’98).” (Kompas, 22 Mei 1998) “Manakala agenda dan langkah itu bisa menjadi kebijakan pemerintahan baru, kecuali mulai melegakan masyarakat, hal itu juga memperbesar kepercayaan dan wibawa pemerintahan baru itu.” (Kompas, 25 Mei 1998).
b) Santai dan tidak formal sehingga terjadi kesalahan dalam menggunakan kata di awal kalimat dan di awal paragraf
Kata “antara lain” dan “di antaranya” (di awal kalimat) Contoh: Antara lain yang menjadi tuntutan reformasi…. (Kompas, 22 Mei 1998) antaranya bahwa lebih 1.000 korban tewas…. (Kompas, 22 Juni 1998). Kata “dari” (di awal paragraf) Contoh: Dari prinsip, semangat, dan orientasi reformasi itu…. (Kompas, 22 Mei 1998) Dari pengalaman kita di masa lampau…. (Kompas, 26 Mei 1998). Dari hadirnya dua pendapat itu saja….(Kompas, 4 Juli 1998). Kata “yakni” (di awal kalimat dan di awal paragraf) Contoh: Yakni terbentuknya Kabinet Baru. (Kompas, 22 Mei 1998) Yakni masyarakat yang bertumpu pada pemahaman…. (Kompas, 26 Mei 1998) Yakni kemampuan negara dalam menghimpun dana…. (Kompas, 16 Juni 1998). Kata “misalnya” (di awal paragraf) Contoh: Misalnya, sangatlah besar peranan pulihnya kepercayaan. (Kompas, 22 Mei 1998) Misalnya, langkah membebaskan tahanan politik…. (Kompas, 25 Mei 1998). Kata “sebab” dan “karena’ (di awal kalimat dan awal paragraf) Contoh: Sebab yang berada di bahu mereka bukan lagi kemudahan…. (Kompas, 25 Mei 1998). Sebab merubah kultur jauh lebih makan waktu…. (Kompas, 4 Juli 1998). Karena bersikap dan bertindak serba tanggung…. (Kompas, 4 Juli 1998). Sebab dalam keadaan obyektif pun…. (Kompas, 10 Juni 1998). Kata “bahkan” (di awal kalimat) Bahkan diumumkan tujuh oknum Kopassus…. (Kompas, 17 Juli 1998). Bahkan untuk sekadar kegiatan pemeliharaan pun…. (Kompas, 16 Juni 1998). Kata “sedangkan” (di awal kalimat) Contoh: Sedangkan pemerintahan dan perangkatnya sekarang…. (Kompas, 4 Juli 1998). Kata “atau” (di awal paragraf) Atau untuk mengutip ungkapan…. (Kompas, 8 Juni 1998)
Kata-kata “antara lain”, “di antaranya”, “dari”, “yakni”, “misalnya”, “karena”, “sebab”, “bahkan”, “sedangkan”, dan “atau” seharusnya tidak digunakan di awal paragraf atau di awal kalimat karena kata-kata tersebut menunjukkan keterpaduan dengan kata sebelumnya dalam sebuah kalimat. Apabila kata-kata tersebut dipakai di awal kalimat berarti kalimat sebelumnya belum dianggap selesai. Dengan kata lain, apabila kata-kata hubung di atas dipakai, maka kalimat tersebut harus bersambung dengan kalimat sebelumnya atau kalimat sesudahnya. Kesalahan ini mungkin saja tidak menyebabkan makna berubah, namun secara struktur penulisan tetap dianggap menyalahi aturan berbahasa tulis bahasa Indonesia.

 Implikasi lain dari kesalahan-kesalahan di atas menunjukkan bahwa “Tajuk Rencana” Kompas banyak ditulis dalam bahasa lisan yang dituliskan. Kesalahan tersebut terjadi karena sering digunakan dalam bahasa lisan, bukan bahasa tulisan. Karakter bahasa lisan tersebut akan sangat tampak apabila Tajuk tersebut dibaca secara utuh. Oleh karena itu, selama Kompas, menggunakan gaya lisan, agak sulit menghindari kesalahan-kesalahan struktur penulisan tersebut.
c) Terdapat paragraf yang hanya satu kalimat
Contoh: “Prinsip dan semangat lain ialah keterbukaan dan transparansi, pertanggungjawaban pemerintahan dan birokrasinya, berlakunya azas dan kepastian hukum yang melindungi martabat dan hak-hak asasi manusia, penyelenggaraan Demokrasi Pancasila secara murni, jujur dan benar-benar menjunjung tinggi Kedaulatan Rakyat dan karena itu menghormati serta melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat, menyelenggarakan pembangunan ekonomi yang bertujuan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” (Kompas, 22 Mei 1998). “Perkembangan dan kondisi psikis-politis yang hidup dalam masyarakat, rupanya adalah demikian rupa, bahwa langkah darurat penyelamatan dan pemulihan ekonomi itu pun, dipengaruhi bahkan ditentukan oleh penyelesaian reformasi politik secara tuntas.” (Kompas, 25 Mei 1998). Dalam satu “Tajuk Rencana” paragraf yang hanya satu kalimat lebih dari satu paragraf, bahkan mencapai 8 paragraf hanya terdiri atas satu kalimat. Hal ini bukan hanya membuat lelah pembaca “Tajuk Rencana” Kompas, namun secara komposisi bahwa sebuah kalimat harus memiliki satu gagasan utama yang dicerminkan dalam kalimat utama dan beberapa gagasan penjelas yang dicerminkan dalam kalimat pendukung tidak dapat dipenuhi.
d) Penggunaan tanda baca, misalnya koma (,) huruf miring (italik) masih ditemukan kesalahan atau kekurangan.
Contoh: Karena itu segala sesuatu yang sudah minta korban…. (Kompas, 22 Mei 1998) Namun ada yang segera dapat ditangkap…. (Kompas, 22 Mei 1998). Pada hari Kamis, 2 Juli ’98 surat kabar ini menurunkan tajuk berjudul Meski Makan Waktu, Semuanya Akhirnya akan Dapat Dibereskan. (Kompas, 17 Juli 1998).
e) Menggunakan kata-kata hiperbola
Contoh: “Prinsip dan semangat lain ialah keterbukaan dan transparansi, pertanggungjawaban pemerintahan dan birokrasinya, berlakunya azas dan kepastian hukum yang melindungi martabat dan hak-hak asasi manusia, penyelenggaraan Demokrasi Pancasila secara murni, jujur dan benar-benar menjunjung tinggi Kedaulatan Rakyat dan karena itu menghormati serta melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat, menyelenggarakan pembangunan ekonomi yang bertujuan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” (Kompas, 22 Mei 1998). “Perkembangan dan kondisi psikis-politis yang hidup dalam masyarakat, rupanya adalah demikian rupa, bahwa langkah darurat penyelamatan dan pemulihan ekonomi itu pun, dipengaruhi bahkan ditentukan oleh penyelesaian reformasi politik secara tuntas.” (Kompas, 25 Mei 1998).

Dalam satu “Tajuk Rencana” paragraf yang hanya satu kalimat lebih dari satu paragraf, bahkan mencapai 8 paragraf hanya terdiri atas satu kalimat. Hal ini bukan hanya membuat lelah pembaca “Tajuk Rencana” Kompas, namun secara komposisi bahwa sebuah kalimat harus memiliki satu gagasan utama yang dicerminkan dalam kalimat utama dan beberapa gagasan penjelas yang dicerminkan dalam kalimat pendukung tidak dapat dipenuhi.
d) Penggunaan tanda baca, misalnya koma (,) huruf miring (italik) masih ditemukan kesalahan atau kekurangan.
Contoh: Karena itu segala sesuatu yang sudah minta korban…. (Kompas, 22 Mei 1998) Namun ada yang segera dapat ditangkap…. (Kompas, 22 Mei 1998). Pada hari Kamis, 2 Juli ’98 surat kabar ini menurunkan tajuk berjudul Meski Makan Waktu, Semuanya Akhirnya akan Dapat Dibereskan. (Kompas, 17 Juli 1998).
e) Menggunakan kata-kata hiperbola
Contoh: Sungguh-sungguh merupakan panggilan tugas…. (Kompas, 22 Mei 1998)

Penyelesaian masalah

Berdasarkan data-data di atas dapat dijelaskan bahwa rendahnya kemampuan menulis didukung oleh rendahnya akses mahasiswa terhadap media. Sejalan dengan rendahnya melek media, mahasiswa tidak mengetahui informasi aktual atau pemberitaan aktual yang menarik untuk ditulis. Kehilangan informasi aktual sama artinya dengan kehilangan bahan tulisan menulis ilmiah populer. Ini artinya, selama tidak mengakses media rangsangan (stimuli) untuk menulis tidak akan pernah ada. Sikap kritis dan kerisauan terhadap persoalan-persoalan akan lahir pada diri mahasiswa apabila mereka mampu mengamati perkembangan informasi dan mengikuti berbagai isu aktual yang dimuat pada media massa khususnya koran. Sebaliknya, keengganan menulis terjadi pada diri mahasiswa karena mereka tidak mengetahui isu-isu penting yang layak untuk diangkat ke dalam sebuah tulisan.

Dengan input akses media yang rendah, pembelajaran menulis menjadi semakin berat karena harus melakukan langkah-langkah yang menyebabkan mahasiswa menjadi kritis dan hirau terhadap sebuah persoalan. Langkah ini dalam tulisan ini dilakukan dengan membelajarkan secara langsung anatomi media dan dasar-dasar jurnalistik sesuai dengan gaya selingkung koran. Dalam beberapa kali pertemuan (6 kali), mahasiswa diajak berdiskusi dan bersikap kritis terhadap setiap pemberitaan pada koran yang mereka akses. Berdasarkan diskusi itulah lahir bahan-bahan tulisan dan gagasan untuk dijadikan tulisan. Demikian karya-karya dari tangan mahasiswa lahir.

Pada saat mengakses media, penting artinya bagi para mahasiswa mengenal gaya penulisan media termasuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan media dalam menyampaikan gagasan dan informasi. Berdasarkan data di atas, berbagai kesalahan media banyak terjadi, baik dari aspek diksi, sintaksis, paragraf, bahkan hal yang selama ini dianggap kecil seperti tanda baca. Sikap hirau terhadap kesalahan-kesalahan media ini juga penting bagi mahasiswa karena mereka diharapkan dapat menulis dengan bahasa yang benar.

Analisis terhadap penggunaan diksi dilakukan untuk memberikan wawasan bagaimana media memanfaatkan istilah atau menggunakan istilah untuk sebuah kepentingan pemberitaan. Pemakaian istilah tersebut bahkan bisa diidentifikasi sebagai kepentingan media dalam menyampaikan pandangannya. Dalam dunia media, istilah (diksi) menjadi hidup dan tidak kaku milik rumpun sebuah ilmu, namun dipakai untuk kepentingan pemberitaan yang berlainan topik bahkan bidang keilmuan (informasi). Cara ini pun dilakukan untuk membuat tulisan mahasiswa menarik dan menantang untuk dibaca orang lain. Diksi-diksi yang menarik bahkan cenderung provokatif perlu dikuasai oleh seorang calon penulis untuk memainkan tulisannya agar menarik dan diminati pembaca. Tanpa penguasaan diksi secara baik, tulisan para mahasiswa akan tampak kaku, sebagaimana tugas-tugas pembuatan makalah.

Pembelajaran yang dilakukan dengan basis pengenalan (akses) media ini menghasilkan beberapa perubahan signifikan dalam diri mahasiswa, yakni lahirnya kompetensi-kompetensi kepenulisan ilmiah populer seperti memahami gaya penulisan di media massa, menentukan topik aktual, membuat judul menarik (5 kata), menggunakan penyajian yang ringan (populer), menguasai diksi populer, menggunakan kalimat pendek dan jelas, mengembangkan variasi paragraf, menuangkan gagasan dalam 6 halaman.

Kemampuan-kemampuan ini secara fungsional akan bermanfaat pada saat mereka menulis untuk sebuah media dan mengidentifikasi karakter media tersebut. Indikator-indikator kualitatif keberhasilan pembelajaran ini dibuktikan berdasarkan portofolio para mahasiswa berupa tulisan (karya) populer para mahasiswa. Karya para mahasiswa itulah, bukti apakah model ini dianggap berhasil atau tidak dalam menunjang pembelajaran kepenulisan ilmiah populer bagi para mahasiswa.


Pustaka Rujukan

  1. Alwasilah, A. C. 2000. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: CV Andira.
  2. Bird, C. 2001. Menulis dengan Emosional, Panduan Empatik Mengarang Fiksi. Bandung: Kaifa.
  3.  DePorter, B. dan Mike H. 1999. Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa Dryden,
  4.  G. dan Jeannette Vos. 2000. Revolusi Cara Belajar. Bandung: kaifa.
  5.  Funk, R. et al. 1989. Option for Reading and Writing. New York: McMillan.
  6.  Hairston, M. 1986. Contemporary Composition. Boston: Houghton Mifflin Company.
  7. Hamp-L. dan Heasley.1987. Study Writing. Cambridge: Cambridge University Press. 
  8. Heller, M. F. 1991. Reading Writing Connections from Theory to Practice. New York:Lougman Publishing Group.
  9. Koentjaraningrat.1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
  10. Kompas, edisi Mei, Juni, Juli 1998. McCrimmon. 1984. Writing With a Purpose. Boston: Houghton Mifflin Company.
  11. Skerritt, O. Z., Ed. 1996. New Directions in Action Research. London: Falmer Press. 
  12. Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing, Balancing Process and Product. McMillan: College Publishing Company Inc.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar